A.
PENDAHULUAN
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Atas
dasar itu maka pendidikan harus di mulai dengan perencanaan yang matang dengan
penuh kesadaran baik oleh pemerintah maupun masyarakat agar tujuan dari
pendidikan itu dapat tercapai yaitu peserta didik memiliki spiritual keagamaan,
berkepribadian, cerdas, memiliki akhlak mulia serta ketrampilan yang dibutuhkan
oleh masyrakat dan negara kedepan .
Pemikiran konstruktivisme adalah salah satu
pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses
belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang
hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar
pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi
dengan lingkungannya.
Pemikiran
konstruktivisme sesungguhnya telah diadopsi dan dilakukan pada sistem
pendidikan Indonesia sejak dahulu, bila kita cermati konsep pendidikan dari
Ki Hajar Dewantara sebagai bapak
pendidikan Indonesia telah banyak menerapkan banyak teori, diantaranya adalah
pemikiran konstruktivesme itu sendiri .
B.
PERMASALAHAN
1.
Apakah
konstruktivisme dalam pendidikan itu?
2.
Bagaimana
Implikasi konstruktivisme terhadap proses pembelajaran?
3.
Bagaimana
Pengaruh konstruktivisme terhadap proses mengajar ?
4.
Bagaimana
Metode Mengajar Guru dalam Pendekatan Konstruktivisme ?
C.
PEMBAHASAN MASALAH
1.
Konstruktivisme Dalam Pendidikan
Konstruktivisme
adalah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah
konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia
kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi
kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Pengetahuan bukanlah tentang
dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan
dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya proses pembentukan yang berjalan
terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu
pemahaman yang baru. [2]
Piaget,
seorang tokoh konstruktivisme, menyatakan bahwa proses pengkonstruksian
pengetahuan berlangsung melalui proses asimilasi dan akomodasi.[3]
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan
persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam struktur atau skema.[4]
yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu
proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan
yang baru dalam struktur yang telah ada. Asimilasi ini tidak menyebabkan
perubahan/pergantian struktur/skema yang telah ada, melainkan
memperkembangkannya. Proses asimilasi ini berjalan terus. Setiap orang selalu
secara terus menerus mengembangkan proses ini.[5]
Konstruktivisme
adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang (perolehan
pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat
diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar, pengetahuan
akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan
lingkungannya (Karli,2003:2).[6]
Dalam
proses pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar anak didik dapat
dibandingkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaiakan diri dengan
tututan perkembangan ilmu dan tehnologi. Anak didik harus aktif mengembangkan
pengetahuan, bukan hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru atau sesama
siswa. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu untuk berdiri sendiri dalam
kekidupan kognitifnya, aliran ini mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif.
Secara
ringkas gagasan konsruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai
berikut (Suparno, 1997:21):[7]
a.
Pengetahuan
bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan
konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b.
Subjek
membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan.
c.
Pengetahuan
dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk
pengetahuan bila konsepsi itu berhadapan dengan pengalaman pengalaman seseorang.
Filsafat
konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia
melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal
ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005 :70) bahwa “konstruktivisme bertitik
tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah
mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau
dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan
lingkungannya”[8]
Karli
(2003:2) menyatakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses
pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan)
diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui
pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh
anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan lingkungannya.[9]
Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme
yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara
personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke
siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif
mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju
ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4)
guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi
siswa berjalan mulus.[10]
Dewasa ini, muncul
kecenderungan penerapan teori konstruktivisme dalam pendidikan/pembelajaran
secara luas. Menurut Noeng Muhadjir, konstruktivisme adalah tradisi berpikir
para genius seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Einstein dan banyak tokoh lainnya.
Dalam filsafat ilmu, pendekatan konstruktivisme dianggap valid pada tahapan
perkembangan ilmu sekarang ini dan cocok dikembangkan untuk meningkatkan mutu
lulusan pendidikan tinggi.[11]
Kuhn lebih lanjut mengatakan, konstruktivisme merupakan paradigma alternatif
yang muncul sebagai dampak revolusi ilmiah yang terjadi dalam beberapa
dasawarsa terakhir. Seiring dengan hal tersebut, kemudian konstruktivisme
menjadi kata kunci dalam hampir setiap pembicaraan
di berbagai kalangan.[12]
2. Implikasi konstruktivisme terhadap
proses pembelajaran
Konstruktivis
melihat belajar sebagai proses aktif pelajar mengkonstruksi arti baik dalam
bentuk teks, dialog, pengalaman fisis, ataupun bentuk lainnya. Von Glasersfeld
menyatakan bahwa dalam perspektif konstruktivis, belajar bukan suatu perwujudan
hubungan stimulus-respons. Belajar memerlukan pengaturan diri dan pembentukan
struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi.[13]
Ada sejumlah implikasi yang relevan terhadap proses pembelajaran
berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan sosial. Implikasi itu antara
lain (Suparno, 1997: 61-69) [14]
a.
Kaum
konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui
konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang
dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses
pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan
informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik
berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh
oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut.
Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan
objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai
dengan pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup
konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll) untuk dijadikan objek
pemaknaan.
b.
Kaum
konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas
dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada
proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses
belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara
cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya
pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif
anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman
yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi
juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin
berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan
yang belum diketahui (Mukminan,dkk., 1998: 44; Fosnot (ed), 1996: 18-20)
sebagai zone of proximal development of knowledge.
c.
Terkait
dengan kedua hal di atas, maka dalam proses pembelajaran seorang pendidik harus
menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural untuk
para peserta didiknya. Materi pembelajaran sungguh harus kontekstual, relevan
dan diambil dari pengalaman sosio budaya setempat. Pendidik tidak dapat
memaksakan suatu materi yang tidak terkait dengan kehidupan nyata peserta
didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan penolakan atau menimbulkan kebosanan
atau akan menghambat proses perkembangan pengetahuan peserta didik.
d.
Dalam
proses pembelajaran pendidik harus memberi otonomi, kebebasan peserta didik
untuk melakukan eksplorasi masalah dan pemecahannya secara individual dan
kolektif, sehingga daya pikirnya dirangsang untuk secara optimal dapat aktif
membentuk pengetahuan dan pemaknaan yang baru.
e.
Pendidik
dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat
tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi
dan menyimpulkan, dll.
f.
Pendidik
merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah
secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang
tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjaawab pribadi.
g.
Dalam
proses pembelajaran, pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi
proses dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan
pendidik, sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan
pengetahuan adalah tanggungjawab bersama. Caranya dengan memberi
pertanyaan-pertanyaan, tugas-tugas yang terkait dengan topik tertentu, yang
harus dipecahkan, didalami secara individual ataupun kolektif, kemudian diskusi
kelompok, menulis , dialog dan presentasi di depan teman yang lain.
Menurut
Suprijono (2011:40), pembelajaran
konstruktivisme merupakan belajar artikulasi. Belajar artikulasi merupakan
proses mengartikulasikan ide, pikiran, dan solusi. Implikasi konstruktivisme
dalam pembelajaran terbagi menjadi beberapa fase, yaitu :[15]
a.
Orientasi, merupakan fase untuk
memberikan kesempatan kepada peserta didik, memerhatikan dan mengembangkan
motivasi terhadap topik materi pembelajaran
b.
Elicitasi, merupakan fase membantu
peserta didik meggali ide-ide yang dimilikinya dengan member kesempatan kepada
peserta didik untuk mendiskusikan atau menggambarkan pengetahuan dasar atau ide
mereka.
c.
Restruksi ide, dalam hal ini peserta
didik melakukan klarifikasi ide dengan cara mengontraskan ide-idenya dengan ide
orang lain
d.
Aplikasi ide, dalam fase ini, ide atau
pengetahuan yang telah dibentuk peserta didik perlu diaplikasikan pada
bermacam-macam situasi yang dihadapi.
e.
Reviu, dalam fase ini memungkinkan
peserta didik mengaplikasikan pengetahuannya pada situasi yang dihadapi
sehari-hari, merevisi gagasannya dengan menambah suatu keterangan atau dengan
cara mengubahnya menjadi lebih lengkap.
3.
Pengaruh Konstruktivisme Terhadap Proses Mengajar
Mengajar
berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan,
membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, mengadakan
justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Menurut prinsip
konstruktivisme, seorang pendidik mempunyai peran sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan
baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada
pendidik yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat
dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut: [16]
a.
Menyediakan
pengalaman belajar, yang memungkinkan pesera didik ikut bertanggungjawab dalam
membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model
ceramah bukanlah tugas utama seorang pendidik.
b.
Pendidik
menyediakan pertanyaan-pertanyaan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang
merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari,
membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan
mengkomunikasikan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir
peserta didik secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang
mendukung belajar peserta didik. Pendidik hendaknya menyemangati peserta didik
dan bukannya sebaliknya. Pendidik perlu menyediakan pengalaman konflik.
Pengalaman konflik ini dapat berwujud pengalaman anomali yang bertentangan
dengan pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman seperti ini
akan menantang peserta didik untuk berpikir mendalam.
c.
Memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau
tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik
berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Pendidik
membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik.
Proses
belajar itu antara lain bercirikan sebagai berikut (Fosnot, 1989: 19-20;34-40).
[17]
a.
Belajar
berarti membentuk makna. Proses pembentukan makna ini berdasarkan pengetahuan
yang sudah dimiliki sebelumnya melalui interaksi langsung dengan objek. Makna
diciptakan oleh peserta didik dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan
alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b.
Konstruksi
terjadi lewat asimilasi dan atau akomodasi. Setiap kali berhadapan dengan
fenomena atau persoalan yang baru, diadakan asimilasi dan atau akomodasi.
c.
Belajar
bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan
pemikiran dengan membuat pengertian (konsep) yang baru. Proses belajar adalah
proses pengembangan pemahaman atau pemikiran dengan membuat pemahaman yang
baru. Belajar itu meredifinisi pengetahuan, konsep lama menjadi pengertian ataupun
konsep yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan
perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan
pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d.
Hasil
belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang
merangsang pemikirannya lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan
(disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e.
Hasil
belajar dipengaruhi oleh pengalaman peserta didik dengan dunia fisik dan
lingkungannya.
f.
Belajar
akan bermakna jika terjadi melalui refleksi dan memecahkan konflik kognitif dan
menggugat pengetahuan lamanya yang kurang sempurna.
g.
Hasil
belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si peserta didik:
konsep-konsep, nilai-nilai, tujuan, sikap dan motivasi yang mempengaruhi
interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Agar
pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan
konstruktivisme merupakan solusi yang baik untuk dapat diterapkan. Berikut akan
dipaparkan perbedaan pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan
pembelajaran yang konstruktivistik.[18]
Perbedaan
pembelajaran behavioristik (tradisional) dengan konstruktivistik
No
|
Pembelajaran Behavioristik (tradisional)
|
Pembelajaran Konstruktivistik
|
1
|
Kurikulum
disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada
keterampilan dasar
|
Kurikulum
disajikan mulai dari keseluruhan menuju kebagian-bagian dan lebih mendekatkan
kepada konsep-konsep yang lebih luas
|
2
|
Pembelajaran
sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan
|
Pembelajaran
lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa
|
3
|
Kegiatan
kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja
|
Kegiatan
kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan
manipulasi bahan
|
4
|
Siswa
dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru,
dan guru menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa
|
Siswa
dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang
dirinya
|
5
|
Penilian
hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari
pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing
|
Pengukuran
proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan
pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa,
serta melalui tugas-tugas pekerjaan
|
6
|
Siswa-siswa
biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajar
|
Siswa-siswa
banyak belajar dan
bekerja
di dalam group proses
|
7
|
Memandang
pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi
|
Memandang
pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak
menentu
|
8
|
Belajar
adalah perolehan
|
Belajar
adalah penyusunan
|
Konstruktivisme
berawal dari pandangan kognitivisme. Kognitivisme lebih mementingkan proses
belajar dari pada hasil belajarnya. Kognitivisme mengatakan bahwa tingkah laku
seseorang ditentukan oleh pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan
tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang
tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Pandangan
kognitivisme menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang
mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya
dimana pengetahuan yang diterima disesuaikan dengan struktur kognitif yang
sudah dimiliki seseorang berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
Berikut komparasi teori behavioris, kognitif, dan konstruktivis. [19]
Komparasi Teori Behavioris, Kognitif, Dan Konstruktivis
Behavioris
|
Kognitif
|
Konstruktivis
|
·
Belajar
merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diamati dan perilaku tersebut
dapat dikuatkan atau dihentikan melalui ganjaran atau hukuman
·
Pengajaran direncanakan dengan
menyusun tujuan instruktional yang dapat diukur dan diamati
· Guru
tidak perlu tahu pengetahuan apa yang telah diketahui dan apa yang terjadi
pada proses berfikir seseorang
|
·
Belajar
merupakan pelibatan penguasaan atau penataan kembali struktur kognitif dimana
seseorang memproses dan menyimpan informasi
·
Semua gagasan dan citraan (image)
diwakili dalam skema
· Jika
informasi sesuai dengan skema akan diterima, jika tidak akan disesuaikan atau
skema yang disesuaikan
|
·
Belajar
merupakan pembangunan pengetahuan berdasarkan pengetahuan
yang telah ada sebelumnya
·
Belajar merupakan penafsiran
seseorang tentang dunia
·
Belajar merupakan proses aktif
melalui interaksi atau kerja sama dengan orang lain
· Belajar
perlu disituasikan dalam latar (setting) yang nyata
|
4.
Metode Mengajar Guru dalam Pendekatan Konstruktivisme
Hakikat pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan untuk
menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Dalam
menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami
bagaimana para siswanya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika
guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan
strategi atau metode-metode pembelajaran yang tepat bagi siwanya. Terjadinya
proses belajar pada siswa yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui
secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari
berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat
menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi
konstruktivis berpendapat bahwa proses memperoleh pengetahuan adalah melalui
penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian
dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat
diadaptasi.
Dalam proses belajar mengajar diperlukan suatu cara atau metode
untuk mencapai tujuan belajar. Metode mengajar adalah suatu cara, teknik atau
langkah-langkah yang akan ditempuh dalam proses belajar mengajar. Ada juga yang
mengatakan bahwa metode mengajar adalah teknik penyajian yang dikuasai guru
untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar
pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan
baik.
Menurut
kaum konstruktivis, guru berperan membantu agar proses pengkonstruksian
pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan
yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa membentuk pengetahuannya
sendiri.[20]
Dengan demikian, mengajar dalam pandangan konstruktivisme diartikan sebagai
suatu kegiatan yang dilakukan guru untuk memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya.[21]
Von
Glasersvelt menyatakan bahwa pengajar/guru memainkan peran sebagai bidan dalam
melahirkan pemahaman dan bukan sebagai montir dalam mentransfer pengetahuan.
Peran mereka bukan menyalurkan pengetahuan tetapi memberi siswa kesempatan dan
mendorong mereka untuk membangun pengetahuan. Meyer menjelaskan, para
pengajar/guru berperan sebagai pembimbing dan siswa sebagai pembangun
pengertian.[22]
Menurut
A. Battencourt, mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.[23]
Menurut
prinsip konstruktivis, seorang guru berperan sebagai mediator dan fasilitator
yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanan ada pada
siswa yang belajar dan bukan pada disiplin atau pun guru yang mengajar. Fungsi
mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.[24]
a. Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat
rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu, memberi pembelajaran atau
ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
b. Menyediakan
atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang Keingin tahuan siswa dan
membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan
ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara
produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar
siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik.
c. Memonitor,
mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi
persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan
kesimpulan siswa.
Agar peran guru
berjalan dengan optimal, maka yang harus dilakukan nya adalah :
a. Perlu
banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka
ketahui dan pikirkan.
b. Perlu
membicarakan tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas bersama siswa.
c. Perlu
mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini
dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar di tengah pelajar.
d. Perlu
meningkatkan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan
terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
e. Perlu
mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai
pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang
tidak diterima guru.[25]
Ada
berbagai metode yang dapat digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran,
diantaranya; ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemberian
tugas, bermain peran, karyawisata, inquiry, kerja kelompok, discovery,
demonstrasi. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu maka tidak akan semua
metode dapat digunakan. Namun yang terpenting adalah penggunaan metode harus
dikaitkan dengan situasi dan tujuan belajar yang hendak dicapai dan ditekankan
kepada keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan.
D.
KESIMPULAN
Konstruktivisme
adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang (perolehan
pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat
diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar, pengetahuan
akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan
lingkungannya.
Proses
pengkonstruksian pengetahuan berlangsung melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam struktur
atau skema. yang sudah ada di dalam pikirannya.
Prinsip-prinsip
konstruktivisme yang diambil adalah :
1.
Pengetahuan
dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial;
2.
Pengetahuan
tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri
untuk bernalar;
3.
Siswa
aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep
menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah;
4.
Guru
berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa
berjalan mulus
Implikasi dari konstruktivisme terhadap proses pembelajaran adalah
:
1.
Pendidik
tidak dapat secara langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar
hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau
objek tertentu. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah
menyediakan objek pengetahuan secara konkret.
2.
Proses
belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Pendidik dituntut
untuk mengenali tingkat perkembangan kognitif peserta didik untuk merancang
pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir,
berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru.
3.
Pendidik
harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural
untuk para peserta didiknya. Pendidik jangan
memaksakan suatu materi yang tidak terkait dengan kehidupan nyata
peserta didik.
4.
Pendidik
harus memberi otonomi, kebebasan peserta didik untuk melakukan eksplorasi
masalah dan pemecahannya secara individual dan kolektif,
5.
Pendidik
harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat tinggi seperti
mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi dan
menyimpulkan, dll.
6.
Pendidik
merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah
secara individual dan kolektif
7.
Pendidik
harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi proses dialogis antara sesama
peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik, sehingga semua pihak
merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan adalah tanggungjawab
bersama.
Guru berperan sebagai mediator
dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.
Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin atau pun guru yang
mengajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Brooks,
Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. (1993). The case for constructivist
classrooms. Alexandria, VA: ASCD
Von
Glasserfield, E, 1989. A constructivist approach to teaching, In L, Steffe
& J. Gale (Eds.), Constructivism in education (pp. 3-16). Hillsdale,
NJ, Lawrence Erlbaum
Dahar, R.W., 1989, Teori-Teori Belajar, Erlangga, Jakarta,
hlm.159. Juga: James Atherton, "Assimilation and Accommodation", http://www.learnin$and teaching.info constructivsm.htm, dalam Yahoo.com.
Paul
Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan,1997,Yogyakarta:
Kanisius,
James Atherton, "Assimilation and Accommodation", http://www.learnjngand teachins.infoconstructivsm.htm. dalam
Yahoo.com.
Karli,
H. dan Yuliariatiningsih, M.S, Model-Model Pembelajaran, 2003, Bandung,
Bina Media Informasi.
Suparno,
P, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan , 2001,Yogyakarta,
Kanisius.
Poedjiadi,
A, Sains Teknologi Masyarakat, Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai, 2005, Bandung Remaja Rosdakarya
Karli,
H. dan Yuliariatiningsih, M.S, Model-Model Pembelajaran, 2003, Bandung,
Bina Media Informasi.
Noeng
Muhadjir, "Konstruktivisme: Latar Belakang dan Perkembangannya", Makalah,
Michael J. Mahoney, "What is Constructivism ? "http : // constmctivisml
23 , com / Wha Is / What_is_constructivism .htm, dalam Yahoo.com.
Elizabeth Murphy, Constructivism from Philosophy to Practice,
http://
www.cdli.ca/elmurphv/de.html, dalam Yahoo.com.
Suparno,
P, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidika,. 1997, Yogyakarta,
Kanisius,
Suprijono, Agus, Cooperative Learning Teori dan Aplkasi
PAIKEM, 2011, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Fosnot
Enquiring Teacherrs, Enquiring Learners. A constructivist Approach for
Teaching, 1996.New York, Columbia University
Budiningsih,
C.A, Belajar dan Pembelajaran, 2005, Jakarta , Rineka Cipta, hal.63
Yulaelawati,
E, Kurikulum dan Pembelajaran, Filosofi, Teori dan Aplikasi, 2004, Jakarta, Pakar Raya.
Asri
Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, 2005, Jakarta, Rineka Cipta.
Maureen
Epstein, "Constructivism", http://Tiger.ToTuson.edu. dalam
Yahoo, com.
Elizabeth
Murphy, "Constructivsm from Philosophy to Practice", htlp:ll www.cdli.ca/elmurphy/ de.html. dalam
Yahoo.com.
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, 1997,Yogyakarta
Kanisius.
Paulina Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, 2001,Jakarta,
Proyek Pengembangan Universitas Terbuka Dirjend Dikti Depdiknas,
[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003, Psl 1, ayat 1
[2] Paul Suparno,Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan,1997,Yogyakarta,Kanisius, hal. 18
[3] Dahar, R.W., Teori-Teori Belajar, 1989,Jakarta,
Erlangga, hlm.159. Juga: James Atherton,
constructivsm.htm, dalam
Yahoo.com.
[4] Paul
Suparno, Op.Cit hal. 31.
constructivsm.htm. dalam Yahoo.com.
[6] Karli, H. dan Yuliariatiningsih, M.S, Model-Model
Pembelajaran, 2003, Bandung, Bina
Media Informasi.
[7] Suparno, P, Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan , 2001,Yogyakarta, Kanisius.
[8] Poedjiadi, A, Sains Teknologi
Masyarakat, Model Pembelajaran Kontekstual
Bermuatan Nilai, 2005, Bandung Remaja Rosdakarya
[9] Karli, H. dan Yuliariatiningsih, M.S, Model-Model
Pembelajaran, 2003, Bandung, Bina
Media Informasi.
[10] Suparno, P, Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan, 2001, Yogyakarta , Kanisius
[11] Noeng Muhadjir, "Konstruktivisme:
Latar Belakang dan Perkembangannya", Makalah, hal. 6
[12] Michael J. Mahoney, "What is
Constructivism ? ",http://constmctivisml23.com/What
Is/What_is_constructivism.htm,
dalam Yahoo.com.
[13] Elizabeth Murphy, Constructivism from
Philosophy to Practice, http://
www.cdli.ca/elmurphv/de.html, dalam
Yahoo.com.
[14] Suparno, P, Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidika,. 1997, Yogyakarta, Kanisius, hal.61-
69
Pustaka
Pelajar
[16] Suparno, P, Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan. 1997, Yogyakarta , Kanisius,hal 65-
66
[17] Fosnot
Enquiring Teacherrs, Enquiring Learners. A constructivist Approach for
Teaching, 1996.New York, Columbia University
[18] Budiningsih, C.A, Belajar dan Pembelajaran,
2005, Jakarta , Rineka Cipta, hal.63
[19] Yulaelawati, E, Kurikulum dan
Pembelajaran, Filosofi, Teori dan Aplikasi, 2004, Jakarta,
Pakar Raya.hal.52-54
[20] Asri Budiningsih, Belajar dan
Pembelajaran, 2005, Jakarta, Rineka Cipta, hal. 59.
[21] Maureen Epstein,
"Constructivism", http://Tiger.ToTuson.edu. dalam Yahoo, com.
[22] Elizabeth Murphy, "Constructivsm
from Philosophy to Practice", htlp:ll
www.cdli.ca/elmurphy/ de.html. dalam
Yahoo.com.
65.
[24] Ibid., hal. 66.
[25] Paulina Pannen, Konstruktivisme dalam
Pembelajaran, 2001,Jakarta, Proyek Pengembangan
Universitas Terbuka Dirjend Dikti
Depdiknas, hal.24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar