Jumat, 01 Desember 2017

PEMIKIRAN KONSTRUKSTIVISME DALAM PENDIDIKAN

A.    PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Atas dasar itu maka pendidikan harus di mulai dengan perencanaan yang matang dengan penuh kesadaran baik oleh pemerintah maupun masyarakat agar tujuan dari pendidikan itu dapat tercapai yaitu peserta didik memiliki spiritual keagamaan, berkepribadian, cerdas, memiliki akhlak mulia serta ketrampilan yang dibutuhkan oleh masyrakat dan negara kedepan .
Pemikiran konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan lingkungannya.
Pemikiran konstruktivisme sesungguhnya telah diadopsi dan dilakukan pada sistem pendidikan Indonesia sejak dahulu, bila kita cermati konsep pendidikan dari Ki  Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan Indonesia telah banyak menerapkan banyak teori, diantaranya adalah pemikiran konstruktivesme itu sendiri .

B.     PERMASALAHAN
1.      Apakah konstruktivisme dalam pendidikan itu?
2.      Bagaimana Implikasi konstruktivisme terhadap proses pembelajaran?
3.      Bagaimana Pengaruh konstruktivisme terhadap proses mengajar ?
4.      Bagaimana Metode Mengajar Guru dalam Pendekatan Konstruktivisme ?

C.    PEMBAHASAN MASALAH
1.      Konstruktivisme Dalam Pendidikan
Konstruktivisme adalah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya proses pembentukan yang berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. [2]
Piaget, seorang tokoh konstruktivisme, menyatakan bahwa proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung melalui proses asimilasi dan akomodasi.[3] Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam struktur atau skema.[4] yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam struktur yang telah ada. Asimilasi ini tidak menyebabkan perubahan/pergantian struktur/skema yang telah ada, melainkan memperkembangkannya. Proses asimilasi ini berjalan terus. Setiap orang selalu secara terus menerus mengembangkan proses ini.[5]
Konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya (Karli,2003:2).[6]
Dalam proses pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar anak didik dapat dibandingkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaiakan diri dengan tututan perkembangan ilmu dan tehnologi. Anak didik harus aktif mengembangkan pengetahuan, bukan hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru atau sesama siswa. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu untuk berdiri sendiri dalam kekidupan kognitifnya, aliran ini mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif.
Secara ringkas gagasan konsruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut (Suparno, 1997:21):[7]
a.       Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b.      Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
c.       Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berhadapan dengan pengalaman pengalaman seseorang.
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005 :70) bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”[8]
Karli (2003:2) menyatakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan lingkungannya.[9] Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.[10]
Dewasa ini, muncul kecenderungan penerapan teori konstruktivisme dalam pendidikan/pembelajaran secara luas. Menurut Noeng Muhadjir, konstruktivisme adalah tradisi berpikir para genius seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Einstein dan banyak tokoh lainnya. Dalam filsafat ilmu, pendekatan konstruktivisme dianggap valid pada tahapan perkembangan ilmu sekarang ini dan cocok dikembangkan untuk meningkatkan mutu lulusan pendidikan tinggi.[11] Kuhn lebih lanjut mengatakan, konstruktivisme merupakan paradigma alternatif yang muncul sebagai dampak revolusi ilmiah yang terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir. Seiring dengan hal tersebut, kemudian konstruktivisme menjadi kata kunci dalam hampir setiap pembicaraan
di berbagai kalangan.[12]

2.      Implikasi konstruktivisme terhadap proses pembelajaran
Konstruktivis melihat belajar sebagai proses aktif pelajar mengkonstruksi arti baik dalam bentuk teks, dialog, pengalaman fisis, ataupun bentuk lainnya. Von Glasersfeld menyatakan bahwa dalam perspektif konstruktivis, belajar bukan suatu perwujudan hubungan stimulus-respons. Belajar memerlukan pengaturan diri dan pembentukan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi.[13]
Ada sejumlah implikasi yang relevan terhadap proses pembelajaran berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan sosial. Implikasi itu antara lain (Suparno, 1997: 61-69) [14]
a.    Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll) untuk dijadikan objek pemaknaan.
b.    Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui (Mukminan,dkk., 1998: 44; Fosnot (ed), 1996: 18-20) sebagai zone of proximal development of knowledge.
c.    Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses pembelajaran seorang pendidik harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural untuk para peserta didiknya. Materi pembelajaran sungguh harus kontekstual, relevan dan diambil dari pengalaman sosio budaya setempat. Pendidik tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak terkait dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan penolakan atau menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan pengetahuan peserta didik.
d.   Dalam proses pembelajaran pendidik harus memberi otonomi, kebebasan peserta didik untuk melakukan eksplorasi masalah dan pemecahannya secara individual dan kolektif, sehingga daya pikirnya dirangsang untuk secara optimal dapat aktif membentuk pengetahuan dan pemaknaan yang baru.
e.    Pendidik dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi dan menyimpulkan, dll.
f.     Pendidik merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjaawab pribadi.
g.    Dalam proses pembelajaran, pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi proses dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik, sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan adalah tanggungjawab bersama. Caranya dengan memberi pertanyaan-pertanyaan, tugas-tugas yang terkait dengan topik tertentu, yang harus dipecahkan, didalami secara individual ataupun kolektif, kemudian diskusi kelompok, menulis , dialog dan presentasi di depan teman yang lain.
Menurut Suprijono (2011:40),  pembelajaran konstruktivisme merupakan belajar artikulasi. Belajar artikulasi merupakan proses mengartikulasikan ide, pikiran, dan solusi. Implikasi konstruktivisme dalam pembelajaran terbagi menjadi beberapa fase, yaitu :[15]
a.    Orientasi, merupakan fase untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik, memerhatikan dan mengembangkan motivasi terhadap topik materi pembelajaran
b.    Elicitasi, merupakan fase membantu peserta didik meggali ide-ide yang dimilikinya dengan member kesempatan kepada peserta didik untuk mendiskusikan atau menggambarkan pengetahuan dasar atau ide mereka.
c.    Restruksi ide, dalam hal ini peserta didik melakukan klarifikasi ide dengan cara mengontraskan ide-idenya dengan ide orang lain
d.   Aplikasi ide, dalam fase ini, ide atau pengetahuan yang telah dibentuk peserta didik perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi.
e.    Reviu, dalam fase ini memungkinkan peserta didik mengaplikasikan pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, merevisi gagasannya dengan menambah suatu keterangan atau dengan cara mengubahnya menjadi lebih lengkap. 

3.      Pengaruh Konstruktivisme Terhadap Proses Mengajar
Mengajar berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada pendidik yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut: [16]
a.    Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinkan pesera didik ikut bertanggungjawab dalam membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas utama seorang pendidik.
b.    Pendidik menyediakan pertanyaan-pertanyaan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari, membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir peserta didik secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung belajar peserta didik. Pendidik hendaknya menyemangati peserta didik dan bukannya sebaliknya. Pendidik perlu menyediakan pengalaman konflik. Pengalaman konflik ini dapat berwujud pengalaman anomali yang bertentangan dengan pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman seperti ini akan menantang peserta didik untuk berpikir mendalam.
c.    Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Pendidik membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik.
Proses belajar itu antara lain bercirikan sebagai berikut (Fosnot, 1989: 19-20;34-40). [17]
a.    Belajar berarti membentuk makna. Proses pembentukan makna ini berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya melalui interaksi langsung dengan objek. Makna diciptakan oleh peserta didik dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
b.    Konstruksi terjadi lewat asimilasi dan atau akomodasi. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan asimilasi dan atau akomodasi.
c.    Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian (konsep) yang baru. Proses belajar adalah proses pengembangan pemahaman atau pemikiran dengan membuat pemahaman yang baru. Belajar itu meredifinisi pengetahuan, konsep lama menjadi pengertian ataupun konsep yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
d.   Hasil belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikirannya lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e.    Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman peserta didik dengan dunia fisik dan lingkungannya.
f.     Belajar akan bermakna jika terjadi melalui refleksi dan memecahkan konflik kognitif dan menggugat pengetahuan lamanya yang kurang sempurna.
g.    Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si peserta didik: konsep-konsep, nilai-nilai, tujuan, sikap dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Agar pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan konstruktivisme merupakan solusi yang baik untuk dapat diterapkan. Berikut akan dipaparkan perbedaan pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran yang konstruktivistik.[18]
Perbedaan pembelajaran behavioristik (tradisional) dengan konstruktivistik
No
Pembelajaran Behavioristik (tradisional)
Pembelajaran Konstruktivistik
1
Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan dasar
Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju kebagian-bagian dan lebih mendekatkan kepada konsep-konsep yang lebih luas
2
Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa
3
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan
4
Siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa
Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya
5
Penilian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing
Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan
6
Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajar
Siswa-siswa banyak belajar dan
bekerja di dalam group proses
7
Memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi
Memandang pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu
8
Belajar adalah perolehan
Belajar adalah penyusunan

Konstruktivisme berawal dari pandangan kognitivisme. Kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Kognitivisme mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Pandangan kognitivisme menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yang diterima disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Berikut komparasi teori behavioris, kognitif, dan konstruktivis. [19]
Komparasi Teori Behavioris, Kognitif, Dan Konstruktivis
Behavioris
Kognitif
Konstruktivis
·   Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diamati dan perilaku tersebut dapat dikuatkan atau dihentikan melalui ganjaran atau hukuman
·   Pengajaran direncanakan dengan menyusun tujuan instruktional yang dapat diukur dan diamati
·   Guru tidak perlu tahu pengetahuan apa yang telah diketahui dan apa yang terjadi pada proses berfikir seseorang

·   Belajar merupakan pelibatan penguasaan atau penataan kembali struktur kognitif dimana seseorang memproses dan menyimpan informasi
·   Semua gagasan dan citraan (image) diwakili dalam skema


·   Jika informasi sesuai dengan skema akan diterima, jika tidak akan disesuaikan atau skema yang disesuaikan
·   Belajar merupakan pembangunan pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya

·   Belajar merupakan penafsiran seseorang tentang dunia

·   Belajar merupakan proses aktif melalui interaksi atau kerja sama dengan orang lain
·   Belajar perlu disituasikan dalam latar (setting) yang nyata
4.      Metode Mengajar Guru dalam Pendekatan Konstruktivisme
Hakikat pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Dalam menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana para siswanya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi atau metode-metode pembelajaran yang tepat bagi siwanya. Terjadinya proses belajar pada siswa yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses memperoleh pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi.
Dalam proses belajar mengajar diperlukan suatu cara atau metode untuk mencapai tujuan belajar. Metode mengajar adalah suatu cara, teknik atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam proses belajar mengajar. Ada juga yang mengatakan bahwa metode mengajar adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik.
Menurut kaum konstruktivis, guru berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa membentuk pengetahuannya sendiri.[20] Dengan demikian, mengajar dalam pandangan konstruktivisme diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan guru untuk memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya.[21]
Von Glasersvelt menyatakan bahwa pengajar/guru memainkan peran sebagai bidan dalam melahirkan pemahaman dan bukan sebagai montir dalam mentransfer pengetahuan. Peran mereka bukan menyalurkan pengetahuan tetapi memberi siswa kesempatan dan mendorong mereka untuk membangun pengetahuan. Meyer menjelaskan, para pengajar/guru berperan sebagai pembimbing dan siswa sebagai pembangun pengertian.[22]
Menurut A. Battencourt, mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.[23]
Menurut prinsip konstruktivis, seorang guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin atau pun guru yang mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.[24]
a.    Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu, memberi pembelajaran atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
b.    Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang Keingin tahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik.
c.    Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
Agar peran guru berjalan dengan optimal, maka yang harus dilakukan nya adalah :
a.    Perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
b.    Perlu membicarakan tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas bersama siswa.
c.    Perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar di tengah pelajar.
d.   Perlu meningkatkan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
e.    Perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.[25]
Ada berbagai metode yang dapat digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran, diantaranya; ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemberian tugas, bermain peran, karyawisata, inquiry, kerja kelompok, discovery, demonstrasi. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu maka tidak akan semua metode dapat digunakan. Namun yang terpenting adalah penggunaan metode harus dikaitkan dengan situasi dan tujuan belajar yang hendak dicapai dan ditekankan kepada keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan.
D.    KESIMPULAN
Konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar, pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
Proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam struktur atau skema. yang sudah ada di dalam pikirannya.
Prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah :
1.      Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial;
2.      Pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar;
3.      Siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah;
4.      Guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus
Implikasi dari konstruktivisme terhadap proses pembelajaran adalah :
1.      Pendidik tidak dapat secara langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret.
2.      Proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Pendidik dituntut untuk mengenali tingkat perkembangan kognitif peserta didik untuk merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru.
3.      Pendidik harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural untuk para peserta didiknya. Pendidik jangan  memaksakan suatu materi yang tidak terkait dengan kehidupan nyata peserta didik.
4.      Pendidik harus memberi otonomi, kebebasan peserta didik untuk melakukan eksplorasi masalah dan pemecahannya secara individual dan kolektif,
5.      Pendidik harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi dan menyimpulkan, dll.
6.      Pendidik merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah secara individual dan kolektif
7.      Pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi proses dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik, sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan adalah tanggungjawab bersama.
Guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin atau pun guru yang mengajar.
  
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Brooks, Jacqueline Grennon and Brooks, Martin G. (1993). The case for constructivist classrooms. Alexandria, VA: ASCD
Von Glasserfield, E, 1989. A constructivist approach to teaching, In L, Steffe & J. Gale (Eds.), Constructivism in education (pp. 3-16). Hillsdale, NJ, Lawrence Erlbaum
Dahar, R.W., 1989, Teori-Teori Belajar, Erlangga, Jakarta, hlm.159. Juga: James Atherton, "Assimilation and Accommodation", http://www.learnin$and teaching.info constructivsm.htm, dalam Yahoo.com.
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan,1997,Yogyakarta: Kanisius,
James Atherton, "Assimilation and Accommodation", http://www.learnjngand teachins.infoconstructivsm.htm. dalam Yahoo.com.
Karli, H. dan Yuliariatiningsih, M.S, Model-Model Pembelajaran, 2003, Bandung, Bina Media Informasi.
Suparno, P, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan , 2001,Yogyakarta, Kanisius.
Poedjiadi, A, Sains Teknologi Masyarakat, Model Pembelajaran Kontekstual        Bermuatan Nilai, 2005, Bandung  Remaja Rosdakarya
Karli, H. dan Yuliariatiningsih, M.S, Model-Model Pembelajaran, 2003, Bandung, Bina Media Informasi.
Noeng Muhadjir, "Konstruktivisme: Latar Belakang dan Perkembangannya", Makalah,
Michael J. Mahoney, "What is Constructivism ? "http : // constmctivisml 23 , com / Wha Is / What_is_constructivism .htm, dalam Yahoo.com.
Elizabeth Murphy, Constructivism from Philosophy to Practice, http://        www.cdli.ca/elmurphv/de.html, dalam Yahoo.com.
Suparno, P, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidika,. 1997, Yogyakarta, Kanisius, 
Suprijono, Agus, Cooperative Learning Teori dan Aplkasi PAIKEM, 2011, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Fosnot Enquiring Teacherrs, Enquiring Learners. A constructivist Approach for Teaching, 1996.New York, Columbia University
Budiningsih, C.A, Belajar dan Pembelajaran, 2005, Jakarta , Rineka Cipta, hal.63
Yulaelawati, E, Kurikulum dan Pembelajaran, Filosofi, Teori dan Aplikasi, 2004,  Jakarta, Pakar Raya.
Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, 2005, Jakarta, Rineka Cipta.
Maureen Epstein, "Constructivism", http://Tiger.ToTuson.edu. dalam Yahoo, com.
Elizabeth Murphy, "Constructivsm from Philosophy to Practice", htlp:ll         www.cdli.ca/elmurphy/ de.html. dalam Yahoo.com.
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, 1997,Yogyakarta Kanisius.
Paulina Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, 2001,Jakarta, Proyek Pengembangan Universitas Terbuka Dirjend Dikti Depdiknas,



[1]    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Psl 1, ayat 1
[2]       Paul Suparno,Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan,1997,Yogyakarta,Kanisius, hal. 18
[3]       Dahar, R.W., Teori-Teori Belajar, 1989,Jakarta, Erlangga, hlm.159. Juga: James Atherton,
        "Assimilation and Accommodation", http://www.learnin$and teaching.info       
         constructivsm.htm, dalam Yahoo.com.
[4]        Paul Suparno, Op.Cit hal. 31.
[5]        James Atherton, "Assimilation and Accommodation", http://www.learnjngand teachins.info
          constructivsm.htm. dalam Yahoo.com.
[6]       Karli, H. dan Yuliariatiningsih, M.S, Model-Model Pembelajaran, 2003, Bandung, Bina
         Media Informasi.
[7]       Suparno, P, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan , 2001,Yogyakarta, Kanisius.
[8]     Poedjiadi, A, Sains Teknologi Masyarakat, Model Pembelajaran Kontekstual
       Bermuatan Nilai, 2005, Bandung  Remaja Rosdakarya
[9]     Karli, H. dan Yuliariatiningsih, M.S, Model-Model Pembelajaran, 2003, Bandung, Bina
      Media Informasi.
[10]     Suparno, P, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, 2001, Yogyakarta , Kanisius
[11]    Noeng Muhadjir, "Konstruktivisme: Latar Belakang dan Perkembangannya", Makalah, hal. 6
[12]    Michael J. Mahoney, "What is Constructivism ? ",http://constmctivisml23.com/What
       Is/What_is_constructivism.htm, dalam Yahoo.com.
[13]     Elizabeth Murphy, Constructivism from Philosophy to Practice, http://
        www.cdli.ca/elmurphv/de.html, dalam Yahoo.com.
[14]     Suparno, P, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidika,. 1997, Yogyakarta, Kanisius,  hal.61- 
        69
[15]     Suprijono, Agus, Cooperative Learning Teori dan Aplkasi PAIKEM, 2011, Yogyakarta,
        Pustaka Pelajar
[16]     Suparno, P, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. 1997, Yogyakarta , Kanisius,hal 65-
        66
[17] Fosnot Enquiring Teacherrs, Enquiring Learners. A constructivist Approach for Teaching, 1996.New York, Columbia University
[18]    Budiningsih, C.A, Belajar dan Pembelajaran, 2005, Jakarta , Rineka Cipta, hal.63
[19]     Yulaelawati, E, Kurikulum dan Pembelajaran, Filosofi, Teori dan Aplikasi, 2004,  Jakarta,
        Pakar Raya.hal.52-54
[20]      Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, 2005, Jakarta, Rineka Cipta, hal. 59.
[21]      Maureen Epstein, "Constructivism", http://Tiger.ToTuson.edu. dalam Yahoo, com.
[22]      Elizabeth Murphy, "Constructivsm from Philosophy to Practice", htlp:ll
         www.cdli.ca/elmurphy/ de.html. dalam Yahoo.com.
[23]       Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, 1997,Yogyakarta Kanisius. hal.
          65.
[24]       Ibid., hal. 66.
[25]     Paulina Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, 2001,Jakarta, Proyek Pengembangan
        Universitas Terbuka Dirjend Dikti Depdiknas, hal.24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAPORAN HASIL RISET TENTANG MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK MELALUI PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING DI MIS KURIPAN KIDUL

A.     PENDAHULUAN Sejak  bayi  anak  berkembang  secara  fisik,  mental,  sosial,  dan  emosional.  Kemampuan  anak berjalan,  berbicara...