Jumat, 01 Desember 2017

MODEL PEMBELAJARAN KECERDASAN EMOSIONAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

1.      PENDAHULUAN

Agama merupakan dasar yang pokok menyiapkan keluarga yang ideal, harmonis, saling mencintai dan mengerti tentang sesuatu yang benar dan tidak benar, hal yang baik maupun hal yang tidak baik. Dalam hal ini peran pendidikan sebagai upaya pembinaan terhadap siswa yang mengarah pada implementasi penanaman nilai-nilai keagamaan sangat penting bagi perkembangan anak khususnya dalam membentuk generasi yang agamis (Islami). [1]
Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu pelajaran yang bersama-sama dengan bidang studi lain, dimaksudkan untuk membentuk manusia yang utuh. Tujuan utama dari Pendidikan Agama Islam adalah memberikan “corak Islam” pada sosok lulusan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Pendidikan Agama Islam sebagai usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. Faktanya dalam dunia pendidikan, ukuran keberhasilan belajar tidak hanya terletak pada prestasi belajar yang dinyatakan dalam raport, melainkan juga terletak pada perubahan sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik. Hal ini disebabkan secara otomatis menjadi pribadi yang berhasil dalam hidupnya.
Penggunaan media pengajaran baik yang dilakukan guru maupun peserta didik kurang kreatif, variatif dan menyenangkan. Kegiatan belajar mengajar PAI cenderung normatif, linier, tanpa ilustrasi konteks sosial budaya di mana lingkungan peserta didik tersebut berada, atau dapat dihubungkan dengan perkembangan zaman yang sangat cepat perubahannya. Kurang adanya komunikasi dan kerjasama dengan orang tua dalam menangani permasalahan yang dihadapi peserta didik.[2]
Pendidikan di Indonesia saat ini, yang masih lebih menghargai kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient) dari pada kecerdasan-kecerdasan yang lain. Peserta didik lebih sering dites IQ, namun tidak pernah diberi tes-tes kecerdasan yang lain seperti EQ (Emotional Quotient) atau SQ (Spiritual Quotient). Dalam sistem pendidikan di Indonesia, siswa yang cerdas adalah siswa yang nilai-nilai raport sekolah atau Indeks Prestasinya (IP) tinggi.[3] Sementara sikap, kreativitas, kemandirian, emosi dan spiritualitas belum mendapat penilaian yang proporsional. Kecerdasan emosional memberikan implikasi positif lebih dari sekedar teori ilmiah atau kesuksesan di tempat kerja, karena berfokus pada intrapersonal dan interpersonal. Orang yang ber EQ tinggi atau yang sedang belajar menerapkan EQ menemukan hidupnya lebih bermakna melebihi kesuksesan di tempat kerja, mereka dapat hidup bahagia, menikmati proses kehidupan, secara tulus saling berbagi, saling mencintai, berkat EQ yang di terapkan dalam kehidupan.[4]

2.      MAKNA KECERDASAN EMOSIONAL
Emosi adalah perasaan tertentu yang bergejolak dan dialami seseorang serta berpengaruh pada kehidupan manusia. Emosi memang sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan, pada beberapa budaya emosi dikaitkan dengan sifat marah seseorang. Menurut Aisah Indiati (2006), sebenarnya terdapat banyak macam ragam emosi, antara lain sedih, takut, kecewa, dan sebagainya yang semuanya berkonotasi negatif. Emosi lain seperti senang, puas, gembira, dan lain-lain, semuanya berkonotasi positif. [5]
Emosi adalah pengorganisasi yang hebat dalam bidang pikiran dan perbuatan meskipun demikian, tidak dapat dipisahkan dari penalaran dan rasionalitas. EQ juga berperan membantu IQ saat memecahkan masalah-masalah penting atau membuat keputusan penting. [6]
Sedangkan pengertian kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan mengatur keadaan emosional diri sendiri dan memahami emosi orang lain. Menurut para ahli, kecerdasan emosional didefinisikan sebagai berikut:
a.       Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai: suatu jenis kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial pada diri sendiri dan orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.[7]
b.      Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.”[8]
c.       Menurut Harmoko, kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain.[9]
d.      Menurut Dwi Sunar P, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain disekitarnya.[10]
Orang yang cerdas secara emosional mampu mengenali, merespon dan mengekspresikan emosi diri sendiri dan orang lain secara lebih baik dan lebih tepat. Mereka cenderung lebih berbakat dalam mengenali reaksi emosional orang lain, sehingga menghasilkan respon empati kepada mereka. Dengan demikian, orang lain akan melihat mereka sebagai sosok yang hangat dan tulus. Sebaliknya orang yang tidak mempunyai kecerdasan emosional sering terlihat sebagai sosok yang tidak sopan atau malu-malu.
Individu dikatakan memiliki emosional yang cerdas apabila mahir mengatur emosi. Mereka yang cerdas secara emosional akan mampu meningkatkan suasana hati diri mereka dan suasana hati orang lain. Sehingga mereka mampu memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan yang bermanfaat.
3.      Komponen Kecerdasan Emosional
Dari pengertian kecerdasan emosional menurut Goleman, dapat  diketahui bahwa kecerdasan emosional memiliki lima komponen yaitu :
a.       Kesadaran Diri ( self awareness )
Kesadaran diri adalah kemampuan untuk memahami emosi-emosi seseorang, kekuatan dan kelemahan-kelemahannya.[11] 
Kesadaran diri ini merupakan dasar kecerdasan emosional yang melandasi terbentuknya kecakapan-kecakapan lain.
Kesadaran emosi diri ini sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya kesadaran terhadap perasaan dan apa yang menjadi penyebabnya, mustahil baginya untuk dapat mencapai kebahagiaan hidup.
Kebahagiaan hidup tidak ditentukan oleh aspek material semata. Sebaliknya, hal itu sangat berkaitan dengan aspek emosional. Karena itu untuk mencapai kebahagiaan hidup orang harus sepenuhnya mempunyai kesadaran terhadap emosi diri, mampu memahami mana perasaan yang positif dan mana yang negatif.
b.      Pengaturan Diri (self regulation )
Pengaturan diri yaitu kemampuan untuk mengatur pengaruh-pengaruh emosi yang menyusahkan seperti kegelisahan dan amarah untuk mencegah emosi-emosi yang bersifat impulsif.
Pengaturan diri juga merupakan kemampuan menangani emosi  sedemikian rupa sehingga berdampak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, serta mampu memulihkan kembali dari tekanan emosi.[12] 
c.       Motivasi Diri ( self motivation )
Motivasi diri adalah dorongan hati untuk bangkit. Motivasi  merupakan kepercayaan bahwa sesuatu dapat dilakukan, bahkan ketika masalah menghadangnya. Jika seseorang telah termotivasi, tidak ada seorang lain pun yang dapat mengambil (merampas) kekuatan mereka untuk bergerak maju. Dan ketika motivasi itu datang dari dalam hati seseorang, mereka menjadi tak terkalahkan.
Dari sudut pandang kecerdasan emosional, orang yang mempunyai harapan berarti ia tidak akan terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah, atau depresif dalam menghadapi sulitnya tantangan atau kemunduran.
d.      Empati ( empathy )
Empati adalah kemampuan untuk merasakan keadaan jiwa dan perasaan orang lain. Kemampuan ini sangat tergantung pada kemampuan seseorang dalam merasakan perasaan diri sendiri dan mengidentifikasi perasaan-perasaan tersebut. Apabila seseorang  tidak dapat merasakan suatu perasaan tertentu , maka akan sulit orang itu untuk memahami bagaimana perasaan orang lain. Untuk itu, semakin tinggi kemampuan seseorang dalam memahami emosi diri maka akan lebih mudah baginya untuk menjelajahi dan memasuki emosi orang lain.
e.       Membina Hubungan ( relationship ).
Membina hubungan merupakan ketrampilan mengelola emosi orang lain. Kecakapan jenis ini sangat membantu seseorang untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan serta kepercayaan dengan orang lain.

4.      PERAN GURU DALAM PEMBELAJARAN KECERDASAN EMOSIONAL
Guru sebagai pengganti orang tua di sekolah dituntut perannya seperti orang tua, tidak semata untuk transfer ilmu tetapi juga sebagai transfer nilai/value untuk penanaman sikap termasuk sikap empati kepada orang lain. Untuk itu sosok guru sebagai pribadi panutan anak, teladan bahkan sebagai figur yang layak dicontoh menjadi sesuatu yang penting.
Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia. ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak”; dan ”Manusia yang paling tinggi kedudukannya adalah yang sempurna akhlaknya”, kedua hadits ini menggambarkan pentingnya akhlaq/watak/cerdas secara emosional bagi manusia. Nabi Muhammad adalah figur yang harus diteladani untuk membentuk akhlak manusia. Muhammad, sejak masa kanak-kanak dan remaja, maupun setelah menjadi Rasul, mempunyai sebuah keistimewaan yang dewasa ini sering disebut sebagai kecerdasan emosi. Yakni, kemampuan untuk mengendalikan emosi dirinya, maupun merasakan perasaan orang lain dan mengambilnya sebagai inspirasi untuk menentukan keputusan. Pada setiap tahapan dan fragmen kehidupan Beliau, nyata sekali kecerdasan emosi Beliau yang luar biasa. Rasulullah, dalam kehidupannya sarat dengan kemampuan yang cerdas dalam mengendalikan emosi diri, serta memahami perasaan orang lain, sehingga berbagai keputusan yang Beliau ambil menjadi begitu menggugah hati, karena merasa emosi mereka dilibatkan. Jelas sekali, dalam diri Muhammad, terkandung kecerdasan luar biasa yang bisa kita jadikan rujukan.
Guru agama memegang peran kunci, namun tidak terlepas pula dari peran guru lain serta iklim sekolah yang sengaja diciptakan untuk pembelajaran akhlak. Menciptakan masyarakat sekolah sebagai sebuah keluarga sakinah akan memberikan keteladanan akhlak kepada anak. Budaya sekolah yang kondusif akan sangat membantu penghayatan anak untuk memperkuat keyakinan dirinya terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang kemudian akan membentuk sikap emosionalnya. Interaksi antara guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa ataupun guru dengan karyawan, karyawan dengan siswa dan karyawan dengan karyawan sebagai akan diamati oleh anak sebuah keteladan bagi kecerdasan emosioal dalam situasi sosial yang natural yang sarat dengan nilai-nilai Islami.


5.      MERANCANG SUASANA PEMBELAJARAN KECERDASAN EMOSIONAL DI KELAS
Sekolah merupakan salah satu tempat yang tepat untuk menanamkan kecerdasan emosional para peserta didik, sekaligus untuk memperbaiki kesalahan anak di bidang ketrampilan emosional dan pergaulan, secara praktis ketika anak masuk ke sekolah (setidaknya pada awalnya), di sekolahlah anak dapat diberi pelajaran dasar untuk hidup yang barangkali belum pernah ia dapatkan dengan cara yang lain.[13]
Dalam pendidikan Islam berbagai ciri yang menandai kecerdasan emosional tersebut terdapat pada pendidikan akhlak. Para pakar pendidikan Islam dengan berbagai ungkapan pada umumnya sepakat bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah membina pribadi yang berakhlak. Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[14]
Pelaksanaan pengembangan kecerdasan emosional disekolah  dilaksanakan melalui penciptaan iklim (budaya) sekolah yang Islami yang bertujuan sebagai pengembangan situasi pembelajaran partisipatif, menekankan siswa agar lebih aktif di dalam pembelajaran dan mengutamakan adanya interaksi antar warga sekolah. Untuk menunjang keberhasilan tujuan tersebut di atas, maka perlu diwujudkan suatu bentuk penciptaan situasi sekolah, termasuk situasi dalam proses pembelajaran di kelas.
Situasi pembelajaran dalam pengembangan kecerdasan emosional pada Pendidikan Agama Islam diantaranya sebagai berikut:
a.       Mata pelajaran Al Quran pada materi surat pendek pilihan.
Guru PAI memberikan penjelasan terkait isi kandungan Surat al-Maun dan guru menemukan nilai emosional pengaturan diri dan empati untuk disisipkan dalam penyampaian materi. Pengaturan diri siswa pada aspek ini dilakukan dengan menjelaskan orang-orang yang mendustakan agama menurut Surat al-Maun, siswa dihimbau untuk selalu berusaha menghindari perilaku yang termasuk ciri-ciri pendusta agama. Di antara orang-orang yang mendustakan agama adalah: 
1) Orang yang menghardik anak yatim
2) Orang yang tidak menyayangi fakir miskin
3) Orang yang melalaikan sholat
4) Orang yang ria
5) Orang yang enggan menolong orang lain dengan hartanya.
Sedangkan empati siswa yang dikembangkan dalam aspek ini dilakukan dengan penjelasan kandungan Surat al-Maun, yaitu anjuran kepada orang Islam agar menyayangi anak yatim dan fakir miskin, serta jangan sampai menjadi orang yang ria dan melalaikan shalat.
b.      Mata pelajaran akidah pada materi beriman kepada Rasul-Rasul Allah
Melalui tanya jawab, siswa mengetahui tentang sifat wajib bagi Rasul, siswa mulai berkembang kesadaran diri atau percaya diri dan termotivasi untuk selalu berpegang teguh pada kebenaran. Dengan meneladani sifat fathonah dan sifat sidiq yang dimiliki Rasul-rasul Allah menjadikan siswa percaya diri (kesadaran diri) dan termotivasi untuk selalu berpegang teguh pada kebenaran. Dengan diskusi, pengaturan diri dalam diri siswa dan ketrampilan sosial juga berkembang. Tanya jawab dan saling bertukar pendapat yang dilakukan siswa dalam diskusi menjadikan siswa semakin pandai dalam mengatur emosi dan membantu dalam mengembangkan keterampilan sosial.
c.       Mata pelajaran SKI pada materi kisah sahabat Nabi
Materi ini disampaikan dengan menggunakan metode resitasi (tugas resum dengan kalimat sendiri). Dengan tugas meresum materi kisah Khalifah Abu Bakar as-Shidiq r.a. dan kisah Khalifah Umar bin Khatab r.a, siswa semakin berkembang kesadaran atau kepercayaan dirinya, karena siswa memiliki peluang untuk meningkatkan keberanian dalam berpikir dan membuat tugas resumnya.

d.      Mata Pelajaran akhlak pada materi meneladani perilaku sahabat Rasulullah
Materi ini menggunakan metode global (ganze method) dan metode karya wisata (study tour method) dalam materi keteladanan Khalifah Abu Bakar as-Shidiq r.a. dan Umar bin Khatab r.a. untuk mengembangkan emosional pada aspek kecakapan motivasi dan empati siswa. Melalui tugas meresum materi kisah sahabat Nabi, siswa akan termotivasi untuk membaca secara cermat agar dapat membuat kesimpulan (meresum) dengan baik dan benar. Sedangkan melalui kunjungan ke panti asuhan (metode karya wisata), sikap empati siswa tumbuh dan berkembang karena melihat keadaan orang yang membutuhkan bantuan (anak-anak yatim) yang ada di panti secara langsung.
e.       Mata pelajaran fiqih pada materi puasa
Metode yang digunakan adalah tutor teman sebaya (peer teaching method). Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang di dalamnya masing-masing terdapat satu anak yang pandai. Dengan tutor teman sebaya, siswa semakin berkembang keterampilan sosial serta pengaturan dirinya. Dengan mendiskusikan hikmah-hikmah puasa, sikap empati siswa berkembang, karena di antara hikmah puasa ialah mendidik dan melatih kesabaran, mendidik dan melatih disiplin, serta mengingat dan merasakan kehidupan fakir miskin.
Adanya proses pembelajaran yang seperti itu diharapkan tujuan akhir dari mata pelajaran PAI ini adalah terbentuknya siswa yang memiliki kematangan emosional dapat terwujud secara nyata dalam kehidupan para siswa. Karena pada hakikatnya tujuan inilah yang sebenarnya merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. di dunia. Dengan demikian, pengembangan kecerdasan emosional termasuk jiwa Pendidikan Agama Islam (PAI).


6.      MERANCANG SECARA TERTULIS STRATEGI PEMBELAJARAN KECERDASAN EMOSIONAL
Strategi dapat dimaknai sebagai pendayagunaan atas semua faktor atau kekuatan dalam rangka mencapai suatu tujuan. Di dalamnya mengandung unsur perencanaan dan pengerahan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada di lapangan. Maka tidak jauh beda dengan strategi pendidikan yang pada hakikatnya juga pengetahuan atau seni mendayagunakan semua faktor dan kekuatan untuk mengamankan sasaran kependidikan yang hendak dicapai melalui perencanaan dan pengarahan sesuai dengan kondisi lapangan yang ada, lengkap dengan perhitungan tentang hambatan-hambatanya baik berupa fisik maupun non fisik seperti mental spiritual, dan moral baik dari subyek didik, obyek, maupun lingkungan sekitar. [15]
Seorang pendidik diharapkan memiliki  pengetahuan dan kemampuan dalam memilih dan menerapkan berbagai strategi pembelajaran, agar dalam melaksanakan tugasnya dapat memilih alternatif strategi yang dirasakan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.
Strategi Pembelajaran yang dicontohkan disini adalah Pembelajaran kooperatif dimana selain mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa dapat meningkatkan kompetensi belajar siswa. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam setting kelas kooperatif, siswa lebih banyak belajar dari satu teman ke teman yang lain di antara sesama siswa daripada belajar dari guru. Konsekuensinya, pengembangan komunitas yang efektif seharusnya tidak ditinggalkan demi kesempatan belajar itu. Model pembelajaran kooperatif memanfaatkan kecenderungan siswa untuk berinteraksi. Pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positif untuk siswa yang rendah hasil belajarnya.
Pembelajaran kooperatif penting dalam membantu siswa belajar dari kurikulum sikap dasar kooperatif dan nilai kooperatif mereka diperlukan untuk membantu mengembangkan kecerdasan emosial siswa baik di dalam maupun di luar kelas. Pengkondisian anak dalam belajar dan bekerja secara berkelompok, akan merangsang anak untuk berlatih mengendalikan emosi, mengembangkan keterampilan kerja sama, berpikir kreatif, nyaman dalam berinteraksi, percaya diri, keberanian mengambil keputusan dan kemampuan memahami orang lain.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang mengajarkan siswa ketrampilan kerjasama dan kolaboratif serta dapat dapat memahami konsep yang dianggap sulit oleh siswa. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif meliputi:
a. Persiapan (preparation)
1). Menyediakan informasi dengan cara yang paling efektif,
2). Menyiapkan siswa untuk ikut serta dalam kerja kelompok sehingga
     mereka dapat menguasai informasi.
b. Penyampaian (delivery)
1). Menentukan tujuan kelompok (set the team goals),
2). Menyiapkan siswa kerja kelompok (prepare students for teamwork),
3). Memberikan penugasan kelompok (give the teams the assignment),
4). Memonitor kerja kelompok ( monitor the teams),
5). Pemberian dan penilaian quis pada siswa (Quiz the students and score),
6). Pengumuman prestasi (recognize team accomplishment).
c. Penutup (closure)
1). Ingatkan siswa apa yang telah dipelajari,
2).  Informasi baru harus berkaitan dengan apa yang sudah mereka pelajari
     atau apa yang akan dipelajari,
3). Sediakan kesempatan untuk menerapkan atau menggunakan informasi
     yang mereka dapat.
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang menekankan siswa saling bekerjasama, membantu mempelajari informasi atau ketrampilan yang relatif telah terdefinisikan dengan baik. Selanjutnya dikemukakan juga, bahwa langkah –langkah model pembelajaran kooperatif meliputi enam fase yaitu: [16]
a)      fase I                         : menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa.
b)      fase II           : menyampaikan informasi,
c)      fase III          : mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar.
d)     fase IV          : membimbing kelompok belajar dan bekerja.
e)      fase V           : evaluasi.
f)       fase VI          : memberikan penghargaan.
Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
1)      Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama.
2)      Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya,
3)      Seperti milik mereka sendiri.
4)      Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompok kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
5)      Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara kelompoknya.
6)      Siswa akan diberikan hadiah/evaluasi yang dikenakan pada anggota kelompok.
7)      Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan ketrampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
8)      Siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Hasil siswa yang diharapkan dari pembelajaran kooperatif adalah:
1)      Sikap dan nilai (attitudes and values),
2)      Tingkah laku sosial (prosocial behavior),
3)      Proses berpikir lebih tinggi (higher thought processes).
Dalam pembelajaran kooperatif meliputi lima langkah yaitu:
1)      Penentuan tujuan kegiatan (specifying the goal of the activity).
2)      Menyusun tugas (structuring the task).
3)      Pembelajaran dan evaluasi proses kolaboratif (teaching and evaluating the collaborative procces).
4)      Pemantauan penampilan kelompok ( monitoring group performance).
5)      Tanya jawab (debriefing).

 7.      KESIMPULAN
Emosi adalah perasaan tertentu yang bergejolak dan dialami seseorang serta berpengaruh pada kehidupan manusia, Sedangkan pengertian kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan mengatur keadaan emosional diri sendiri dan memahami emosi orang lain
Kecerdasan emosional memiliki lima komponen yaitu :
a.       Kesadaran Diri ( self awareness )
b.      Pengaturan Diri (self regulation )
c.       Motivasi Diri ( self motivation )
d.      Empati ( empathy )
e.       Membina Hubungan ( relationship ).
Harapan besar pada guru agama, karena tersirat dan tersurat dalam ajaran agama Islam tentang kecerdasan emosional. Mendidik anak yang cerdas secara emosional dengan kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memanfaatkan emosi secara produktif, empati dan kesanggupan membina hubungan menjadi bagian dari pendidikan Agama Islam. Kecerdasan emosional di dalam ajaran Islam lebih dekat dengan ajaran mengenai akhlak.
Sekolah merupakan salah satu tempat yang tepat untuk menanamkan kecerdasan emosional para peserta didik, sekaligus untuk memperbaiki kesalahan anak di bidang ketrampilan emosional dan pergaulan, secara praktis ketika anak masuk ke sekolah (setidaknya pada awalnya),
Strategi dapat dimaknai sebagai pendayagunaan atas semua faktor atau kekuatan dalam rangka mencapai suatu tujuan. Di dalamnya mengandung unsur perencanaan dan pengerahan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada di lapangan.



DAFTAR PUSTAKA


Asrohah,Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2001.
Yamin Martinis. Paradigma Baru Pembelajaran,Jakarta, GP Press, 2011.
Efendi Agus, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Bandung, Alfabeta, Cet Ke-1, 2005.
Suharsono, Membelajarkan Anak dengan Cinta, Jakarta, Inisiasi Press, 2003.
Prawira Purwa Atmaja, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2012.
K.Cooper Robert dan Ayman Sawaf, Executive EQ, Kecerdasan Emosional Dalam Kepemimpinan Dan Organisasi,  Jakarta,PT Gramedia Pustaka Utama,1999.
Sunar Dwi P, Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ, Jogjakarta, Flash Books, 2010
Saefullah Uyoh, Psikologi Perkembangan dan Pendidikan, Bandung, Pustaka Setia, 2012.
EQ Definitions, http://www.heartskills.com/eq/eq-definitions.html. (Diakses pada Maret 2017 Pukul 14:30  WIB).
Mustaqim, Psikologi Pendidikan,Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2008.
Goleman Daniel, Kecerdasan Emosional, Jakarta, Gramedia PustakaUtama,2002.
Nata Abudin, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2012.



[1]      Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta , Logos Wacana Ilmu, cet. II, 2001), hal
       181
[2]      Martinis Yamin. Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta, GP Press, 2011, hal. 4 
[3]    Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21 , Bandung, Alfabeta, 2005, Cet. Ke-1, hal.4
[4]    Suharsono, Membelajarkan Anak dengan Cinta, Jakarta, Inisiasi Press, 2003, hal. 237 
[5]    Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru , Jogjakarta, Ar-Ruzz
      Media, 2012, hal 159
[6]    Robert K.Cooper dab Ayman Sawaf, Executive EQ, Kecerdasan Emosional Dalam
     Kepemimpinan Dan Organisasi,Jakarta,PT Gramedia Pustaka Utama,1999 hal. Ii
[7]     Dwi Sunar P, Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ ,Jogjakarta, Flash Books, 2010, hal.132.
[8]      Uyoh Saefullah, Psikologi Perkembangan dan Pendidikan ,Bandung, Pustaka Setia, 2012,
       hal.168.
[9]     Ibid.
[10]    Dwi Sunar P, Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ , Jogjakarta, Flash Books, 2010, hal.132

[11]    EQ Definitions, http://www.heartskills.com/eq/eq-definitions.html. Diakses pada Maret 2017
       Pukul 14:30 WIB.
[12]    Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
       bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 154-155.
[13]     Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, Jakarta, Gramedia PustakaUtama, 2002, hal. 387
[14]     Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di Indonesia,
        Jakarta, Kencana, 2012, hal. 46
[15]     Ishak W Talibo, Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Pendidikan Islam,
        (IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008), http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02
[16]   Lundgren,Linda,1994. Cooperative Learning in The Science Classroom, New York:
       McGraw-Hill. Hal. 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAPORAN HASIL RISET TENTANG MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK MELALUI PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING DI MIS KURIPAN KIDUL

A.     PENDAHULUAN Sejak  bayi  anak  berkembang  secara  fisik,  mental,  sosial,  dan  emosional.  Kemampuan  anak berjalan,  berbicara...