1. PENDAHULUAN
Agama merupakan dasar yang pokok menyiapkan
keluarga yang ideal, harmonis, saling mencintai dan mengerti tentang sesuatu
yang benar dan tidak benar, hal yang baik maupun hal yang tidak baik. Dalam hal
ini peran pendidikan sebagai upaya pembinaan terhadap siswa yang mengarah pada
implementasi penanaman nilai-nilai keagamaan sangat penting bagi perkembangan
anak khususnya dalam membentuk generasi yang agamis (Islami). [1]
Pendidikan Agama Islam merupakan
salah satu pelajaran yang bersama-sama dengan bidang studi lain, dimaksudkan
untuk membentuk manusia yang utuh. Tujuan utama dari Pendidikan Agama Islam
adalah memberikan “corak Islam” pada sosok lulusan lembaga pendidikan yang
bersangkutan. Pendidikan Agama Islam sebagai usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia menuju terbentuknya
manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. Faktanya
dalam dunia pendidikan, ukuran keberhasilan belajar tidak hanya terletak pada
prestasi belajar yang dinyatakan dalam raport, melainkan juga terletak pada
perubahan sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik. Hal ini disebabkan secara
otomatis menjadi pribadi yang berhasil dalam hidupnya.
Penggunaan media pengajaran baik yang
dilakukan guru maupun peserta didik kurang kreatif, variatif dan menyenangkan.
Kegiatan belajar mengajar PAI cenderung normatif, linier, tanpa ilustrasi
konteks sosial budaya di mana lingkungan peserta didik tersebut berada, atau
dapat dihubungkan dengan perkembangan zaman yang sangat cepat perubahannya. Kurang
adanya komunikasi dan kerjasama dengan orang tua dalam menangani permasalahan
yang dihadapi peserta didik.[2]
Pendidikan di Indonesia saat ini,
yang masih lebih menghargai kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient) dari
pada kecerdasan-kecerdasan yang lain. Peserta didik lebih sering dites IQ,
namun tidak pernah diberi tes-tes kecerdasan yang lain seperti EQ (Emotional
Quotient) atau SQ (Spiritual Quotient). Dalam sistem pendidikan di Indonesia,
siswa yang cerdas adalah siswa yang nilai-nilai raport sekolah atau Indeks
Prestasinya (IP) tinggi.[3]
Sementara sikap, kreativitas, kemandirian, emosi dan spiritualitas belum mendapat
penilaian yang proporsional. Kecerdasan emosional memberikan implikasi positif
lebih dari sekedar teori ilmiah atau kesuksesan di tempat kerja, karena
berfokus pada intrapersonal dan interpersonal. Orang yang ber EQ tinggi atau
yang sedang belajar menerapkan EQ menemukan hidupnya lebih bermakna melebihi
kesuksesan di tempat kerja, mereka dapat hidup bahagia, menikmati proses
kehidupan, secara tulus saling berbagi, saling mencintai, berkat EQ yang di
terapkan dalam kehidupan.[4]
2.
MAKNA
KECERDASAN EMOSIONAL
Emosi adalah perasaan tertentu yang bergejolak dan dialami seseorang serta
berpengaruh pada kehidupan manusia. Emosi memang sering dikonotasikan sebagai
sesuatu yang negatif. Bahkan, pada beberapa budaya emosi dikaitkan dengan sifat
marah seseorang. Menurut Aisah Indiati (2006), sebenarnya terdapat banyak macam
ragam emosi, antara lain sedih, takut, kecewa, dan sebagainya yang semuanya
berkonotasi negatif. Emosi lain seperti senang, puas, gembira, dan lain-lain,
semuanya berkonotasi positif. [5]
Emosi adalah pengorganisasi yang hebat dalam bidang pikiran dan perbuatan meskipun
demikian, tidak dapat dipisahkan dari penalaran dan rasionalitas. EQ juga
berperan membantu IQ saat memecahkan masalah-masalah penting atau membuat
keputusan penting. [6]
Sedangkan pengertian kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan
mengatur keadaan emosional diri sendiri dan memahami emosi orang lain. Menurut
para ahli, kecerdasan emosional didefinisikan sebagai berikut:
a.
Salovey dan Mayer mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai: suatu jenis kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan sosial pada diri sendiri dan orang lain,
memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran
dan tindakan.[7]
b.
Menurut Goleman, kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
intelegensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan
kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan
sosial.”[8]
c.
Menurut Harmoko, kecerdasan emosi
dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan
dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang
lain, serta membina hubungan dengan orang lain.[9]
d.
Menurut Dwi Sunar P, kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola,
serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain disekitarnya.[10]
Orang yang cerdas secara emosional mampu mengenali,
merespon dan mengekspresikan emosi diri sendiri dan orang lain secara lebih
baik dan lebih tepat. Mereka cenderung lebih berbakat dalam mengenali reaksi
emosional orang lain, sehingga menghasilkan respon empati kepada mereka. Dengan
demikian, orang lain akan melihat mereka sebagai sosok yang hangat dan tulus.
Sebaliknya orang yang tidak mempunyai kecerdasan emosional sering terlihat
sebagai sosok yang tidak sopan atau malu-malu.
Individu dikatakan memiliki emosional yang cerdas
apabila mahir mengatur emosi. Mereka yang cerdas secara emosional akan mampu
meningkatkan suasana hati diri mereka dan suasana hati orang lain. Sehingga
mereka mampu memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan yang bermanfaat.
3.
Komponen
Kecerdasan Emosional
Dari
pengertian kecerdasan emosional menurut Goleman, dapat diketahui bahwa kecerdasan emosional memiliki
lima komponen yaitu :
a.
Kesadaran
Diri ( self awareness )
Kesadaran
diri adalah kemampuan untuk memahami emosi-emosi seseorang, kekuatan dan
kelemahan-kelemahannya.[11]
Kesadaran
diri ini merupakan dasar kecerdasan emosional yang melandasi terbentuknya
kecakapan-kecakapan lain.
Kesadaran
emosi diri ini sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya kesadaran
terhadap perasaan dan apa yang menjadi penyebabnya, mustahil baginya untuk
dapat mencapai kebahagiaan hidup.
Kebahagiaan
hidup tidak ditentukan oleh aspek material semata. Sebaliknya, hal itu sangat
berkaitan dengan aspek emosional. Karena itu untuk mencapai kebahagiaan hidup
orang harus sepenuhnya mempunyai kesadaran terhadap emosi diri, mampu memahami
mana perasaan yang positif dan mana yang negatif.
b.
Pengaturan
Diri (self regulation )
Pengaturan diri yaitu kemampuan untuk mengatur pengaruh-pengaruh
emosi yang menyusahkan seperti kegelisahan dan amarah untuk mencegah
emosi-emosi yang bersifat impulsif.
Pengaturan diri juga merupakan kemampuan menangani emosi sedemikian rupa sehingga berdampak positif
terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, serta mampu memulihkan kembali
dari tekanan emosi.[12]
c.
Motivasi
Diri ( self motivation )
Motivasi diri adalah dorongan hati untuk bangkit. Motivasi
merupakan kepercayaan bahwa sesuatu dapat dilakukan, bahkan ketika masalah
menghadangnya. Jika seseorang telah termotivasi, tidak ada seorang lain pun yang
dapat mengambil (merampas) kekuatan mereka untuk bergerak maju. Dan ketika
motivasi itu datang dari dalam hati seseorang, mereka menjadi tak terkalahkan.
Dari sudut pandang kecerdasan emosional, orang yang mempunyai
harapan berarti ia tidak akan terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah, atau
depresif dalam menghadapi sulitnya tantangan atau kemunduran.
d.
Empati
( empathy )
Empati adalah kemampuan untuk merasakan keadaan jiwa dan perasaan
orang lain. Kemampuan ini sangat tergantung pada kemampuan seseorang dalam
merasakan perasaan diri sendiri dan mengidentifikasi perasaan-perasaan
tersebut. Apabila seseorang tidak dapat merasakan suatu perasaan tertentu
, maka akan sulit orang itu untuk memahami bagaimana perasaan orang lain. Untuk
itu, semakin tinggi kemampuan seseorang dalam memahami emosi diri maka akan
lebih mudah baginya untuk menjelajahi dan memasuki emosi orang lain.
e.
Membina
Hubungan ( relationship ).
Membina hubungan merupakan ketrampilan mengelola emosi orang lain.
Kecakapan jenis ini sangat membantu seseorang untuk berkomunikasi dan menjalin
hubungan serta kepercayaan dengan orang lain.
4.
PERAN GURU DALAM PEMBELAJARAN KECERDASAN EMOSIONAL
Guru
sebagai pengganti orang tua di sekolah dituntut perannya seperti orang tua,
tidak semata untuk transfer ilmu tetapi juga sebagai transfer nilai/value untuk
penanaman sikap termasuk sikap empati kepada orang lain. Untuk itu sosok guru
sebagai pribadi panutan anak, teladan bahkan sebagai figur yang layak dicontoh
menjadi sesuatu yang penting.
Nabi
Muhammad diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia. ”Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak”; dan ”Manusia yang paling tinggi
kedudukannya adalah yang sempurna akhlaknya”, kedua hadits ini menggambarkan
pentingnya akhlaq/watak/cerdas secara emosional bagi manusia. Nabi Muhammad
adalah figur yang harus diteladani untuk membentuk akhlak manusia. Muhammad,
sejak masa kanak-kanak dan remaja, maupun setelah menjadi Rasul, mempunyai
sebuah keistimewaan yang dewasa ini sering disebut sebagai kecerdasan emosi.
Yakni, kemampuan untuk mengendalikan emosi dirinya, maupun merasakan perasaan
orang lain dan mengambilnya sebagai inspirasi untuk menentukan keputusan. Pada
setiap tahapan dan fragmen kehidupan Beliau, nyata sekali kecerdasan emosi
Beliau yang luar biasa. Rasulullah, dalam kehidupannya sarat dengan
kemampuan yang cerdas dalam mengendalikan emosi diri, serta memahami perasaan
orang lain, sehingga berbagai keputusan yang Beliau ambil menjadi begitu
menggugah hati, karena merasa emosi mereka dilibatkan. Jelas sekali, dalam diri
Muhammad, terkandung kecerdasan luar biasa yang bisa kita jadikan rujukan.
Guru
agama memegang peran kunci, namun tidak terlepas pula dari peran guru lain
serta iklim sekolah yang sengaja diciptakan untuk pembelajaran akhlak.
Menciptakan masyarakat sekolah sebagai sebuah keluarga sakinah akan memberikan
keteladanan akhlak kepada anak. Budaya sekolah yang kondusif akan sangat
membantu penghayatan anak untuk memperkuat keyakinan dirinya terhadap
nilai-nilai ajaran Islam yang kemudian akan membentuk sikap emosionalnya.
Interaksi antara guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa
ataupun guru dengan karyawan, karyawan dengan siswa dan karyawan dengan
karyawan sebagai akan diamati oleh anak sebuah keteladan bagi kecerdasan
emosioal dalam situasi sosial yang natural yang sarat dengan nilai-nilai
Islami.
5.
MERANCANG SUASANA PEMBELAJARAN KECERDASAN EMOSIONAL DI KELAS
Sekolah
merupakan salah satu tempat yang tepat untuk menanamkan kecerdasan emosional
para peserta didik, sekaligus untuk memperbaiki kesalahan anak di bidang ketrampilan
emosional dan pergaulan, secara praktis ketika anak masuk ke sekolah
(setidaknya pada awalnya), di sekolahlah anak dapat diberi pelajaran dasar
untuk hidup yang barangkali belum pernah ia dapatkan dengan cara yang lain.[13]
Dalam
pendidikan Islam berbagai ciri yang menandai kecerdasan emosional tersebut
terdapat pada pendidikan akhlak. Para pakar pendidikan Islam dengan berbagai
ungkapan pada umumnya sepakat bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah
membina pribadi yang berakhlak. Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan jasmani
dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[14]
Pelaksanaan
pengembangan kecerdasan emosional disekolah dilaksanakan melalui penciptaan iklim (budaya)
sekolah yang Islami yang bertujuan sebagai pengembangan situasi pembelajaran
partisipatif, menekankan siswa agar lebih aktif di dalam pembelajaran dan mengutamakan
adanya interaksi antar warga sekolah. Untuk menunjang keberhasilan tujuan tersebut
di atas, maka perlu diwujudkan suatu bentuk penciptaan situasi sekolah,
termasuk situasi dalam proses pembelajaran di kelas.
Situasi
pembelajaran dalam pengembangan kecerdasan emosional pada Pendidikan Agama
Islam diantaranya sebagai berikut:
a.
Mata
pelajaran Al Quran pada materi surat pendek pilihan.
Guru
PAI memberikan penjelasan terkait isi kandungan Surat al-Maun dan guru
menemukan nilai emosional pengaturan diri dan empati untuk disisipkan dalam penyampaian
materi. Pengaturan diri siswa pada aspek ini dilakukan dengan menjelaskan
orang-orang yang mendustakan agama menurut Surat al-Maun, siswa dihimbau
untuk selalu berusaha menghindari perilaku yang termasuk ciri-ciri pendusta
agama. Di antara orang-orang yang mendustakan agama adalah:
1)
Orang yang menghardik anak yatim
2)
Orang yang tidak menyayangi fakir miskin
3)
Orang yang melalaikan sholat
4)
Orang yang ria
5)
Orang yang enggan menolong orang lain dengan hartanya.
Sedangkan
empati siswa yang dikembangkan dalam aspek ini dilakukan dengan penjelasan
kandungan Surat al-Maun, yaitu anjuran kepada orang Islam agar
menyayangi anak yatim dan fakir miskin, serta jangan sampai menjadi orang yang
ria dan melalaikan shalat.
b.
Mata
pelajaran akidah pada materi beriman kepada Rasul-Rasul Allah
Melalui
tanya jawab, siswa mengetahui tentang sifat wajib bagi Rasul, siswa mulai
berkembang kesadaran diri atau percaya diri dan termotivasi untuk selalu
berpegang teguh pada kebenaran. Dengan meneladani sifat fathonah dan
sifat sidiq yang dimiliki Rasul-rasul Allah menjadikan siswa percaya
diri (kesadaran diri) dan termotivasi untuk selalu berpegang teguh pada
kebenaran. Dengan diskusi, pengaturan diri dalam diri siswa dan ketrampilan
sosial juga berkembang. Tanya jawab dan saling bertukar pendapat yang dilakukan
siswa dalam diskusi menjadikan siswa semakin pandai dalam mengatur emosi dan
membantu dalam mengembangkan keterampilan sosial.
c.
Mata
pelajaran SKI pada materi kisah sahabat Nabi
Materi
ini disampaikan dengan menggunakan metode resitasi (tugas resum dengan
kalimat sendiri). Dengan tugas meresum materi kisah Khalifah Abu Bakar
as-Shidiq r.a. dan kisah Khalifah Umar bin Khatab r.a, siswa semakin berkembang
kesadaran atau kepercayaan dirinya, karena siswa memiliki peluang untuk
meningkatkan keberanian dalam berpikir dan membuat tugas resumnya.
d.
Mata
Pelajaran akhlak pada materi meneladani perilaku sahabat Rasulullah
Materi
ini menggunakan metode global (ganze method) dan metode karya
wisata (study tour method) dalam materi keteladanan Khalifah Abu Bakar
as-Shidiq r.a. dan Umar bin Khatab r.a. untuk mengembangkan emosional pada
aspek kecakapan motivasi dan empati siswa. Melalui tugas meresum materi kisah
sahabat Nabi, siswa akan termotivasi untuk membaca secara cermat agar dapat membuat
kesimpulan (meresum) dengan baik dan benar. Sedangkan melalui kunjungan ke
panti asuhan (metode karya wisata), sikap empati siswa tumbuh dan berkembang
karena melihat keadaan orang yang membutuhkan bantuan (anak-anak yatim) yang
ada di panti secara langsung.
e.
Mata
pelajaran fiqih pada materi puasa
Metode
yang digunakan adalah tutor teman sebaya (peer teaching method). Siswa dibagi
menjadi kelompok-kelompok kecil yang di dalamnya masing-masing terdapat satu anak
yang pandai. Dengan tutor teman sebaya, siswa semakin berkembang keterampilan
sosial serta pengaturan dirinya. Dengan mendiskusikan hikmah-hikmah puasa,
sikap empati siswa berkembang, karena di antara hikmah puasa ialah mendidik dan
melatih kesabaran, mendidik dan melatih disiplin, serta mengingat dan merasakan
kehidupan fakir miskin.
Adanya
proses pembelajaran yang seperti itu diharapkan tujuan akhir dari mata
pelajaran PAI ini adalah terbentuknya siswa yang memiliki kematangan emosional dapat
terwujud secara nyata dalam kehidupan para siswa. Karena pada hakikatnya tujuan
inilah yang sebenarnya merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. di
dunia. Dengan demikian, pengembangan kecerdasan emosional termasuk jiwa Pendidikan
Agama Islam (PAI).
6.
MERANCANG SECARA TERTULIS STRATEGI PEMBELAJARAN KECERDASAN
EMOSIONAL
Strategi dapat dimaknai sebagai pendayagunaan atas
semua faktor atau kekuatan dalam rangka mencapai suatu tujuan. Di dalamnya
mengandung unsur perencanaan dan pengerahan sesuai dengan kondisi dan situasi
yang ada di lapangan. Maka tidak jauh beda dengan strategi pendidikan yang pada
hakikatnya juga pengetahuan atau seni mendayagunakan semua faktor dan kekuatan
untuk mengamankan sasaran kependidikan yang hendak dicapai melalui perencanaan
dan pengarahan sesuai dengan kondisi lapangan yang ada, lengkap dengan
perhitungan tentang hambatan-hambatanya baik berupa fisik maupun non fisik
seperti mental spiritual, dan moral baik dari subyek didik, obyek, maupun
lingkungan sekitar. [15]
Seorang pendidik diharapkan memiliki pengetahuan
dan kemampuan dalam memilih dan menerapkan berbagai strategi pembelajaran, agar dalam melaksanakan tugasnya dapat memilih
alternatif strategi yang dirasakan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan.
Strategi Pembelajaran yang
dicontohkan disini adalah Pembelajaran
kooperatif dimana selain mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan
yang lebih baik antar siswa dapat meningkatkan kompetensi belajar siswa.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam setting kelas kooperatif, siswa
lebih banyak belajar dari satu teman ke teman yang lain di antara sesama siswa
daripada belajar dari guru. Konsekuensinya, pengembangan komunitas yang efektif
seharusnya tidak ditinggalkan demi kesempatan belajar itu. Model pembelajaran
kooperatif memanfaatkan kecenderungan siswa untuk berinteraksi. Pembelajaran
kooperatif memiliki dampak yang amat positif untuk siswa yang rendah hasil
belajarnya.
Pembelajaran kooperatif penting dalam membantu siswa belajar
dari kurikulum sikap dasar kooperatif dan nilai kooperatif mereka diperlukan
untuk membantu mengembangkan kecerdasan emosial siswa baik di dalam maupun di
luar kelas. Pengkondisian anak dalam belajar dan bekerja secara berkelompok,
akan merangsang anak untuk berlatih mengendalikan emosi, mengembangkan
keterampilan kerja sama, berpikir kreatif, nyaman dalam berinteraksi, percaya
diri, keberanian mengambil keputusan dan kemampuan memahami orang lain.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang mengajarkan
siswa ketrampilan kerjasama dan kolaboratif serta dapat dapat memahami konsep
yang dianggap sulit oleh siswa. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif
meliputi:
a. Persiapan (preparation)
1). Menyediakan informasi dengan cara yang paling efektif,
2). Menyiapkan siswa untuk ikut serta dalam kerja kelompok
sehingga
mereka dapat
menguasai informasi.
b. Penyampaian (delivery)
1). Menentukan tujuan kelompok (set the team goals),
2). Menyiapkan siswa kerja kelompok (prepare students for teamwork),
3). Memberikan penugasan kelompok (give the teams the assignment),
4). Memonitor kerja kelompok ( monitor the teams),
5). Pemberian dan penilaian quis pada siswa (Quiz the students and score),
6). Pengumuman prestasi (recognize team accomplishment).
c. Penutup (closure)
1). Ingatkan siswa apa yang telah dipelajari,
2). Informasi baru
harus berkaitan dengan apa yang sudah mereka pelajari
atau apa yang
akan dipelajari,
3). Sediakan kesempatan untuk menerapkan atau menggunakan
informasi
yang mereka
dapat.
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang
menekankan siswa saling bekerjasama, membantu mempelajari informasi atau
ketrampilan yang relatif telah terdefinisikan dengan baik. Selanjutnya
dikemukakan juga, bahwa langkah –langkah model pembelajaran kooperatif meliputi
enam fase yaitu: [16]
a) fase I :
menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa.
b) fase II :
menyampaikan informasi,
c) fase III :
mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar.
d) fase IV :
membimbing kelompok belajar dan bekerja.
e) fase V :
evaluasi.
f) fase VI :
memberikan penghargaan.
Unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif sebagai
berikut:
1) Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan
bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama.
2) Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu
di dalam kelompoknya,
3) Seperti milik mereka sendiri.
4) Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota
di dalam kelompok kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
5) Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung
jawab yang sama di antara kelompoknya.
6) Siswa akan diberikan hadiah/evaluasi yang
dikenakan pada anggota kelompok.
7) Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka
membutuhkan ketrampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
8) Siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara
individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Hasil siswa yang diharapkan dari pembelajaran
kooperatif adalah:
1) Sikap dan nilai (attitudes and values),
2) Tingkah laku sosial (prosocial behavior),
3) Proses berpikir lebih tinggi (higher
thought processes).
Dalam pembelajaran kooperatif meliputi lima langkah
yaitu:
1) Penentuan tujuan kegiatan (specifying the
goal of the activity).
2) Menyusun tugas (structuring the task).
3) Pembelajaran dan evaluasi proses
kolaboratif (teaching and evaluating the collaborative procces).
4) Pemantauan penampilan kelompok ( monitoring
group performance).
5) Tanya jawab (debriefing).
7.
KESIMPULAN
Emosi adalah perasaan tertentu yang
bergejolak dan dialami seseorang serta berpengaruh pada kehidupan manusia,
Sedangkan pengertian kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan mengatur
keadaan emosional diri sendiri dan memahami emosi orang lain
Kecerdasan emosional memiliki lima komponen
yaitu :
a.
Kesadaran
Diri ( self awareness )
b.
Pengaturan
Diri (self regulation )
c.
Motivasi
Diri ( self motivation )
d.
Empati
( empathy )
e.
Membina
Hubungan ( relationship ).
Harapan besar pada guru agama, karena tersirat dan tersurat dalam
ajaran agama Islam tentang kecerdasan emosional. Mendidik anak yang cerdas
secara emosional dengan kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi,
memanfaatkan emosi secara produktif, empati dan kesanggupan membina hubungan
menjadi bagian dari pendidikan Agama Islam. Kecerdasan emosional di dalam
ajaran Islam lebih dekat dengan ajaran mengenai akhlak.
Sekolah merupakan salah satu tempat yang tepat untuk menanamkan
kecerdasan emosional para peserta didik, sekaligus untuk memperbaiki kesalahan
anak di bidang ketrampilan emosional dan pergaulan, secara praktis ketika anak
masuk ke sekolah (setidaknya pada awalnya),
Strategi dapat dimaknai sebagai
pendayagunaan atas semua faktor atau kekuatan dalam rangka mencapai suatu
tujuan. Di dalamnya mengandung unsur perencanaan dan pengerahan sesuai dengan
kondisi dan situasi yang ada di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah,Hanun,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2001.
Yamin Martinis. Paradigma Baru Pembelajaran,Jakarta, GP
Press, 2011.
Efendi Agus, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Bandung, Alfabeta,
Cet Ke-1, 2005.
Suharsono, Membelajarkan Anak dengan Cinta, Jakarta,
Inisiasi Press, 2003.
Prawira
Purwa Atmaja, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru, Jogjakarta,
Ar-Ruzz Media, 2012.
K.Cooper
Robert dan Ayman Sawaf, Executive EQ, Kecerdasan Emosional Dalam
Kepemimpinan Dan Organisasi, Jakarta,PT
Gramedia Pustaka Utama,1999.
Sunar Dwi P, Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ, Jogjakarta,
Flash Books, 2010
Saefullah Uyoh,
Psikologi Perkembangan dan Pendidikan, Bandung, Pustaka Setia, 2012.
EQ
Definitions, http://www.heartskills.com/eq/eq-definitions.html. (Diakses pada
Maret 2017 Pukul 14:30 WIB).
Mustaqim, Psikologi Pendidikan,Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2008.
Goleman Daniel, Kecerdasan Emosional, Jakarta, Gramedia
PustakaUtama,2002.
Nata
Abudin, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di
Indonesia, Jakarta, Kencana, 2012.
[1] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta , Logos Wacana Ilmu, cet. II, 2001), hal
181
[2] Martinis
Yamin. Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta, GP Press, 2011, hal. 4
[4] Suharsono, Membelajarkan Anak dengan
Cinta, Jakarta, Inisiasi Press, 2003, hal. 237
[5] Purwa Atmaja Prawira, Psikologi
Pendidikan dalam Perspektif Baru , Jogjakarta, Ar-Ruzz
Media, 2012, hal 159
[6] Robert K.Cooper dab Ayman Sawaf, Executive
EQ, Kecerdasan Emosional Dalam
Kepemimpinan Dan Organisasi,Jakarta,PT Gramedia Pustaka Utama,1999 hal. Ii
hal.168.
[9] Ibid.
[10] Dwi Sunar P, Edisi Lengkap Tes
IQ, EQ, dan SQ , Jogjakarta, Flash Books, 2010, hal.132
[11] EQ Definitions,
http://www.heartskills.com/eq/eq-definitions.html. Diakses pada Maret 2017
Pukul 14:30 WIB.
bekerja sama dengan Pustaka Pelajar,
2008, hlm. 154-155.
[13] Daniel
Goleman, Kecerdasan Emosional, Jakarta, Gramedia PustakaUtama, 2002,
hal. 387
[14] Abudin
Nata, Manajemen Pendidikan, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di
Indonesia,
Jakarta, Kencana, 2012, hal. 46
[16] Lundgren,Linda,1994. Cooperative Learning
in The Science Classroom, New York:
McGraw-Hill.
Hal. 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar