1.
Dalam Kitab
Ihya Ulumuddin halaman 901 dijelaskan :
Akal memiliki 2 pengertian :
a.
Akal adalah Pengetahuan tentang hakikat segala keadaaan. Maka
akal itu ibarat dari sifat-sifat ilmu yang tempatnya di hati.
b.
Akal Ialah yang memperoleh pengertian itu dan itu adalah hati
ya’ni yang halus itu
Sedangkan di halaman 908 dijelaskan pula :
Ketahuilah bahwa tubuh itu seperti kota, dan akal
yang mengetahui dari manusia adalah seperti raja yang mengatur kota itu. Kekuatan manusia yang mengetahui yang
terdiri dari pancaindra zahiriyah dan batiniyah adalah seperti tentaranya dan
pembantu-pembantunya .
Dijelaskan pula di halaman 933, bahwa :
Akal ( ‘aqliyah) terbagi mejadi 2 yaitu :
a.
Dlaruriyah.
Yang diketahui secara mudah dari mana datangnya dan bagaimana
datangnya .
Seperti pengetahuan manusia bahwa satu orang tidak mungkin berada
di 2 tempat pada waktu yang sama, pengetahuan ini sudah ada sejak manusia lahir secara fitrah .
b.
Muktasabah
Dengan tidak diusahakan yang diperoleh dari balajar dan
mencari dalil.
Muktasabah terdiri dari duniawiyah ( kedunian ) dan
Ukhrowiyah ( Keakhiratan )
2. Dari segi kewujudannya,
Akal adalah
satu jisim halus yang menjadi rahasia Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an Allah telah
menjelaskan jisim halus ini dengan firmanNya yang bermaksud
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ
قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا
“Apabila
mereka bertanya kepada engkau (wahai Muhammad) tentang roh, katakanlah: Roh itu
urusan Tuhan. Dan kamu hanya bisa diberitahu sedikit saja” (QS. Al-Isra’ : 85).
Maka jisim halus itu berfungsi
kepada empat fungsi yaitu sebagai hati, roh, nafsu dan akal. Maka akal itu
adalah sebangsa dengan hati, roh dan nafsu cuma berlainan fungsi.[1]
3. Menurut Ibn ‘Abd Rabbih
Berpendapat bahwa akal adalah penerima ilmu dan tidak bekerja diluar tugas
tersebut sedikitpun.
4. Dr. Zaki Najib Mahmud menyatakan kekagumannya terhadap pendapat dari Ibn
‘Abd Rabbih dan mengatakan :
“Perhatikanlah. Akal tidak melahirkan ilmu dari perutnya, sebagaimana
laba-laba mengeluarkan benang-benang dari perutnya. Akal menerima hasil dari
luar, dari alam beserta isinya yang hidup atau yang mati, melalui serapan
inderawi pendengaran, pengelihatan dan rabaan. Akal terikat
dengan hal-hal yang tampak dn eksprimental, kenyataan inderawi dan
gejala-gejala nyata, sungguh melampoi watak dan tugasnya, apabila akal merusak
ikatan-ikatan itu untuk bergerak secara bebas dan tanpa batas”.[2]
5. Menurut Ibnu Taimiyah
Kata akal memiliki arti: menahan, mengekang, menjaga,
dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan
semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan
terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan dan memegang erat
ilmu yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena lafadz akal dimuthlakkan pada
berakal dengan ilmu.
Akal pikiran amatlah terbatas, apalagi dalam menafsirkan
Al-Quran dan Hadits. Ia meletakkan pikiran dibelakang nash-nash agama yang tak
boleh berdiri sendiri. Akal tak berhak menafsirkan, menguraikan dan
mentakwilkan Al quran kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata
(bahasa) dan dikuatkan oleh hadits. Akal pikiran hanyalah saksi pembenaran dan
penjelas dalil-dalil Al Quran .
Tak ada pertentangan antara cara memakai dalil naqli
yang shahih dengan cara dalil aqli yang shahih.
Akal tidak berhak mengemukakan dalil sebelum didatangkan dalil naqli.
Bila ada pertentangan antara aqli dan pendengaran (sami’) maka harus
didahulukan dalil qhat’i, baik ia merupakn dalil qhat’i maupun sami’
6. Syaikh Al-Albani
Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu
sesuatu yang mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kiri. Dan
tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari kekanan dan kekiri
kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan
pemahaman salaf.
7. Al-Imam Abdul Qosim Al-Ashbahany
Akal ada dua macam yaitu: Thabi’i dan diusahakan. Yang
Thabi’i adalah yang datang bersamaan dengan kelahiran, seperti kemampuan untuk
menyusui, makan, tertawa bila senang, dan menangis jika dalam keadaan sedih.
8.
Menurut Abu Huzail
Akal adalah “daya untuk
memperoleh pengetahuan, dan yang membuat seseorang dapat membedakan antara
dirinya dan benda lain. Akal juga mampu membuat abstraksi benda-benda yang
ditangkap panca indera”.
9.
Menurut Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany:
“Akal ada dua macam yaitu :
Thabi’i dan diusahakan. yang datang bersamaan dengan
yang kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bilangsenang,
dan menangis bila tidak senang.
Kemudian seorang anak akan mendapat tambahan akal di
fase kehidupannya hingga usia 40 tahun. Saat itulah sempurna akalnya, kemudian
sesudah itu berkurang akalnya sampai ada yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah
akal yang diusahakan.
Adapun ilmu maka setiap hari juga bertambah, batas
akhir menuntut ilmu adalah batas akhir umur manusia, maka seorang manusia akan
selalu butuh kepada tambahan ilmu selama masih bernyawa, dan kadang dia tidak
butuh tambahan akal jika sudah sampai puncaknya
10.
Menurut
Imam Al-Ghazali
Pada Hakikatnya, akal adalah insting yang
disiapkan untuk mengenali informasi-informasi nalar. Seakan-akan ia adalah
cahaya yang ditempatkan di dalam kalbu. Dengannya hati siap mengenali sesuatu.
Kadar dari insting berbeda sesuai dengan tingkatannya.[3]
Kedudukan akal seperti seorang raja. Memiliki
banyak pasukan, yaitu tamyiz (kemampuan membedakan), daya
hafal dan pemahaman. Kebahagiaan spiritual adalah akal, karena menyebabkan
apsek fisik memperoleh kekuatan. [4]
Al Ghazali melihat akal sebagai jiwa rasional,
yang mempunyai dua daya: daya al ‘amilat (praktis) dan
daya al ‘alimat (teoritis). Akal praktis digunakan untuk
kreativitas dan akhlak manusia. Artinya, terwujudnya tingkah laku yang baik
bergantung pada kekuatan akal praktis dalam menguasai daya-daya jiwa tersebut.
Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang
bersifat immateri dan abstrak. Hubungannya adalah dengan ilmu-ilmu yang abstrak
dan universal.
Akal teoritis mempunyai empat tingkatan
kemampuan, yaitu :
a.
Akal al
hayulani
Merupakan
potensi belaka, yaitu kesanggupan untuk menangkap arti-arti murni yang tak
pernah berada dalam materi atau belum keluar.
b.
Akal malakat,
Yaitu
kesanggupan untuk berfikir abstrak secara murni mulai kelihatan sehingga dapat
menangkap pengertian dan kaidah umum. Misalnya, seluruh lebih besar daripada
bagian.
c.
Akal fi’il
Yaitu
akal yang lebih mudah dan lebih banyak menangkap pengertian dan kaidah umum
yang dimaksud. Akal ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak yang dapat
dikeluarkan setiap kali dikehendaki.
d.
Akal al
mustafad,
yaitu
akal yang di dalamnya terdapat arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan dengan
mudah sekali.
Adapun
cara beraktivitasnya akal-akal tersebut untuk menghasilkan ilmu dapat
dijelaskan secara singkat:
Akal hayulani semata-mata
berupa potensi, hanya mampu menangkap sesuatu dari luar jika mendapat
rangsangan. Kemudian akal malakat melakukan abstraksi. Proses
abstraksi itu menghasilkan pengertian. Hasil abstraksi (pengertian) itu
kemudian disimpan oleh akal fi’il dan selanjutnya diteruskan
pada akal mustafadmenjadi ilmu.[5]
11. Perbedaan pendapat ulama dalam memberikan makna
istilah akal , yang disimpulkan menjadi
empat makna, yaitu :
a. Naluri
manusia (Gharizah).
Naluri manusia seperti halnya dengan kekuatan
indrawi manusia, seperti melihat yang merupakan kekuatan mata dan kekuatan
lisan dengan merasakan berbagai rasa makanan. Keberadaan akal merupakan syarat
dalam hal pengetahuan dan semua yang bisa dinalar (reasonable). Naluri juga
perwujudan sasaran penerapan hukum-hukum syar`I. dengan akal juga manusia dapat
dibedakan dengan semua hewan.
Imam Ahmad (W.241H.) mengatakan, “akal itu
adalah naluri, hikmah adalah kecerdasan, ilmu adalah sima` (didasarkan atas apa
yang didengar), mencintai dunia adalah hawa dan zuhud terhadap dunia adalah
memelihara diri (ifaf).”
b. Ilmu
dlarury.
Suatu ilmu yang diketahui seluruh insan yang
berakal seperti ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat assumsi, pasti
dan mustahil.
Al-Qadli Abu Bakar mengatakan, “Akal adalah
ilmu-ilmu dlarury tentang wajib adanya sesuatu yang wajib ada, kemungkinan
adanya hal hal yang mungkin ada dan ketiadaan sesuatu yang mustahil ada.”
c. Ilmu
Nadlary.
Suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh setelah
melalui berbagai pemikiran, perenungan dan eksperiment. Kualitas manusia dalam
ruang ilmu pengetahuan jenis ini satu dengan yang lain tentunya berbeda.
Abu Hamid al-Ghazaly mengatakan, “Ilmu yang
diraih dengan metode penelitian pada objek dengan berbagai keadaannya. Maka
siapa saja yang berpengalaman dengan penelitian yang dijalaninya dan
pemikirannya terpola dengan bermacam teori, maka biasanya ia dapat disebut
`aqil –orang yang berakal- sebaliknya, siapa saja yang tidak menjalaninya disebut
dengan ghabi atau jahil”
d. Perbuatan
yang merupakan buah dari keberadaan ilmu pada diri manusia.
Az Zajaj (W. 331) mengatakan, “Seorang `aqil
adalah siapa saja yang mengerjakan apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya,
siapa saja yang tidak mengerjakannya, maka ia jahil.”
Dari setiap makna akal diatas, tidak disebutkan
bahwa akal itu adalah materi (zat/ jauhar) yang berdiri sendiri (seperti halnya
yang dianut para fhilosof yunani dan siapa saja yang mengusung pemikiran
mereka). Akan tetapi akal adalah sifat dan materi yang terkait dengan
pemiliknya.[6]
12.
Menurut
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i menegaskan :
إِنَّ
لِلْعَقْلِ حَدَّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ
إِلَيْهِ
“Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan mata
juga memiliki batas”.[7]
Termasuk pokok-pokok Ahli sunnah wal Jama’ah adalah bahwa akal
bukanlah pedoman untuk menetapkan hukum dan aqidah, namun patokannya adalah
dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, adapun akal hanyalah alat untuk
memahami.
Maka amatlah salah jika menjadikan akal sebagai hakim terhadap
dalil Al-Qur’an dan hadits sebagaimana dilakukan oleh sebagian kalangan,
sehingga benar Imam as-Sam’ani tatkala mengatakan: “Mereka menjadikan
akal-akal mereka sebagai para penyeru kepada Alloh dan menjadikannya seperti
Rosul di tengah-tengah mereka. Seandainya ada orang mengatakan: “Tiada ilah
(sesembahan) yang berhak diibadahi kecuali Alloh dan akal adalah Rosulku”,
niscaya hal itu bukanlah sesuatu yang salah bagi ahli kalam secara makna”.[8]
Imam Nawawi berkata: “Madzhab kami dan madzhab seluruh Ahli Sunnah
adalah bahwa hukum itu tidak ditetapkan kecuali dengan syari’at dan bahwa akal
tidaklah menetapkan sesuatupun”.[9]
Masalah ini merupakan salah satu pembeda antara Ahli Sunnah wal
Jama’ah dengan kelompok-kelompok sesat lainnya. Abul Mudhoffar as-Sam’ani
berkata: “Perbedaan mendasar antara kita (ahli sunnah) dengan ahli
bid’ah adalah dalam masalah akal, mereka membangun agama mereka di atas akal
dan menjadikan dalil mengikuti kepada akal. Adapun ahlu Sunnah berkata: Asal
dalam agama adalah ittiba’ (mengikuti dalil), akal hanyalah mengikut.
Seandainya asas agama ini adalah akal, tentunya makhluk tidak memerlukan wahyu
dan Nabi, tidak ada artinya perintah dan larangan dan dia akan berbicara
sesukanya. Seandainya dibangun di atas akal maka konsekwensinya adalah boleh
bagi kaum mukminin untuk tidak menerima sesuatu sehingga menimbang dengan akal
mereka terlebih dahulu”.[10]
http://hirmanjayadi.blogspot.co.id/2011/07/kedudukan-akal-dalam-islam.html 15/10/16 jam 09.05
http://hirmanjayadi.blogspot.co.id/2011/07/kedudukan-akal-dalam-islam.html 15/10/16 jam 09.05
Ringkasan yang ditulis sendiri oleh sang hujjatul Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 39.
hlm. 43.
comment 809 views
Tidak ada komentar:
Posting Komentar