Jumat, 24 Maret 2017

RESUME AKAL MENURUT PENDAPAT ULAMA



1.      Dalam  Kitab Ihya Ulumuddin halaman 901 dijelaskan :
Akal memiliki 2 pengertian :
a.       Akal adalah Pengetahuan tentang hakikat segala keadaaan. Maka akal itu ibarat dari sifat-sifat ilmu yang tempatnya di hati.
b.      Akal Ialah yang memperoleh pengertian itu dan itu adalah hati ya’ni yang halus itu
Sedangkan di halaman 908 dijelaskan pula :
Ketahuilah bahwa tubuh itu seperti kota, dan akal yang mengetahui dari manusia adalah seperti raja yang mengatur kota  itu. Kekuatan manusia yang mengetahui yang terdiri dari pancaindra zahiriyah dan batiniyah adalah seperti tentaranya dan pembantu-pembantunya .
Dijelaskan pula di halaman 933, bahwa :
Akal ( ‘aqliyah) terbagi mejadi 2 yaitu :
a.       Dlaruriyah. 
Yang diketahui secara mudah dari mana datangnya dan bagaimana datangnya  .
Seperti pengetahuan manusia bahwa satu orang tidak mungkin berada di 2 tempat pada waktu yang sama, pengetahuan ini sudah ada  sejak manusia lahir secara fitrah .
b.      Muktasabah
Dengan tidak diusahakan yang diperoleh dari balajar dan mencari dalil.
Muktasabah terdiri dari duniawiyah ( kedunian ) dan Ukhrowiyah ( Keakhiratan )

2.      Dari segi kewujudannya,
Akal adalah satu jisim halus yang menjadi rahasia Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an Allah telah menjelaskan jisim halus ini dengan firmanNya yang bermaksud
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا
 “Apabila mereka bertanya kepada engkau (wahai Muhammad) tentang roh, katakanlah: Roh itu urusan Tuhan. Dan kamu hanya bisa diberitahu sedikit saja” (QS. Al-Isra’ : 85).
Maka jisim halus itu berfungsi kepada empat fungsi yaitu sebagai hati, roh, nafsu dan akal. Maka akal itu adalah sebangsa dengan hati, roh dan nafsu cuma berlainan fungsi.[1]

3.      Menurut Ibn ‘Abd Rabbih
Berpendapat bahwa akal adalah penerima ilmu dan tidak bekerja diluar tugas tersebut sedikitpun.

4.      Dr. Zaki Najib Mahmud menyatakan kekagumannya terhadap pendapat dari Ibn ‘Abd Rabbih dan mengatakan :
“Perhatikanlah. Akal tidak melahirkan ilmu dari perutnya, sebagaimana laba-laba mengeluarkan benang-benang dari perutnya. Akal menerima hasil dari luar, dari alam beserta isinya yang hidup atau yang mati, melalui serapan inderawi pendengaran, pengelihatan dan rabaan. Akal terikat dengan hal-hal yang tampak dn eksprimental, kenyataan inderawi dan gejala-gejala nyata, sungguh melampoi watak dan tugasnya, apabila akal merusak ikatan-ikatan itu untuk bergerak secara bebas dan tanpa batas”.[2]

5.      Menurut Ibnu Taimiyah
Kata akal memiliki arti: menahan, mengekang, menjaga, dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.
Akal pikiran amatlah terbatas, apalagi dalam menafsirkan Al-Quran dan Hadits. Ia meletakkan pikiran dibelakang nash-nash agama yang tak boleh berdiri sendiri. Akal tak berhak menafsirkan, menguraikan dan mentakwilkan Al quran kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) dan dikuatkan oleh hadits. Akal pikiran hanyalah saksi pembenaran dan penjelas dalil-dalil Al Quran .
Tak ada pertentangan antara cara memakai dalil naqli yang shahih dengan cara dalil aqli yang shahih.  Akal tidak berhak mengemukakan dalil sebelum didatangkan dalil naqli. Bila ada pertentangan antara aqli dan pendengaran (sami’) maka harus didahulukan dalil qhat’i, baik ia merupakn dalil  qhat’i maupun sami’

6.      Syaikh Al-Albani
Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari kekanan dan kekiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf.

7.      Al-Imam Abdul Qosim Al-Ashbahany
Akal ada dua macam yaitu: Thabi’i dan diusahakan. Yang Thabi’i adalah yang datang bersamaan dengan kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusui, makan, tertawa bila senang, dan menangis jika dalam keadaan sedih.

8.      Menurut Abu Huzail
Akal adalah “daya untuk memperoleh pengetahuan, dan yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain. Akal juga mampu membuat abstraksi benda-benda yang ditangkap panca indera”.

9.       Menurut Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany:
“Akal ada dua macam yaitu :
Thabi’i dan diusahakan. yang datang bersamaan dengan yang kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bilangsenang, dan menangis bila tidak senang.
Kemudian seorang anak akan mendapat tambahan akal di fase kehidupannya hingga usia 40 tahun. Saat itulah sempurna akalnya, kemudian sesudah itu berkurang akalnya sampai ada yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah akal yang diusahakan.
Adapun ilmu maka setiap hari juga bertambah, batas akhir menuntut ilmu adalah batas akhir umur manusia, maka seorang manusia akan selalu butuh kepada tambahan ilmu selama masih bernyawa, dan kadang dia tidak butuh tambahan akal jika sudah sampai puncaknya


10.  Menurut Imam Al-Ghazali
Pada Hakikatnya, akal adalah insting yang disiapkan untuk mengenali informasi-informasi nalar. Seakan-akan ia adalah cahaya yang ditempatkan di dalam kalbu. Dengannya hati siap mengenali sesuatu. Kadar dari insting berbeda sesuai dengan tingkatannya.[3]
Kedudukan akal seperti seorang raja. Memiliki banyak pasukan, yaitu tamyiz (kemampuan membedakan), daya hafal dan pemahaman. Kebahagiaan spiritual adalah akal, karena menyebabkan apsek fisik memperoleh kekuatan. [4]
Al Ghazali melihat akal sebagai jiwa rasional, yang mempunyai dua daya: daya al ‘amilat (praktis) dan daya al ‘alimat (teoritis). Akal praktis digunakan untuk kreativitas dan akhlak manusia. Artinya, terwujudnya tingkah laku yang baik bergantung pada kekuatan akal praktis dalam menguasai daya-daya jiwa tersebut. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang bersifat immateri dan abstrak. Hubungannya adalah dengan ilmu-ilmu yang abstrak dan universal.
Akal teoritis mempunyai empat tingkatan kemampuan, yaitu :
a.       Akal al hayulani 
Merupakan potensi belaka, yaitu kesanggupan untuk menangkap arti-arti murni yang tak pernah berada dalam materi atau belum keluar.
b.      Akal malakat,
Yaitu kesanggupan untuk berfikir abstrak secara murni mulai kelihatan sehingga dapat menangkap pengertian dan kaidah umum. Misalnya, seluruh lebih besar daripada bagian.
c.       Akal fi’il 
Yaitu akal yang lebih mudah dan lebih banyak menangkap pengertian dan kaidah umum yang dimaksud. Akal ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki.
d.      Akal al mustafad,
yaitu akal yang di dalamnya terdapat arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan dengan mudah sekali.
Adapun cara beraktivitasnya akal-akal tersebut untuk menghasilkan ilmu dapat dijelaskan secara singkat:
Akal hayulani semata-mata berupa potensi, hanya mampu menangkap sesuatu dari luar jika mendapat rangsangan. Kemudian akal malakat melakukan abstraksi. Proses abstraksi itu menghasilkan pengertian. Hasil abstraksi (pengertian) itu kemudian disimpan oleh akal fi’il dan selanjutnya diteruskan pada akal mustafadmenjadi ilmu.[5]
11.  Perbedaan pendapat ulama dalam memberikan makna istilah akal , yang disimpulkan  menjadi empat makna, yaitu :
a.       Naluri manusia (Gharizah).
Naluri manusia seperti halnya dengan kekuatan indrawi manusia, seperti melihat yang merupakan kekuatan mata dan kekuatan lisan dengan merasakan berbagai rasa makanan. Keberadaan akal merupakan syarat dalam hal pengetahuan dan semua yang bisa dinalar (reasonable). Naluri juga perwujudan sasaran penerapan hukum-hukum syar`I. dengan akal juga manusia dapat dibedakan dengan semua hewan.
Imam Ahmad (W.241H.) mengatakan, “akal itu adalah naluri, hikmah adalah kecerdasan, ilmu adalah sima` (didasarkan atas apa yang didengar), mencintai dunia adalah hawa dan zuhud terhadap dunia adalah memelihara diri (ifaf).”
b.      Ilmu dlarury.
Suatu ilmu yang diketahui seluruh insan yang berakal seperti ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat assumsi, pasti dan mustahil.
Al-Qadli Abu Bakar mengatakan, “Akal adalah ilmu-ilmu dlarury tentang wajib adanya sesuatu yang wajib ada, kemungkinan adanya hal hal yang mungkin ada dan ketiadaan sesuatu yang mustahil ada.”
c.       Ilmu Nadlary.
Suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh setelah melalui berbagai pemikiran, perenungan dan eksperiment. Kualitas manusia dalam ruang ilmu pengetahuan jenis ini satu dengan yang lain tentunya berbeda.
Abu Hamid al-Ghazaly mengatakan, “Ilmu yang diraih dengan metode penelitian pada objek dengan berbagai keadaannya. Maka siapa saja yang berpengalaman dengan penelitian yang dijalaninya dan pemikirannya terpola dengan bermacam teori, maka biasanya ia dapat disebut `aqil –orang yang berakal- sebaliknya, siapa saja yang tidak menjalaninya disebut dengan ghabi atau jahil
d.      Perbuatan yang merupakan buah dari keberadaan ilmu pada diri manusia.
Az Zajaj (W. 331) mengatakan, “Seorang `aqil adalah siapa saja yang mengerjakan apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya, siapa saja yang tidak mengerjakannya, maka ia jahil.”
Dari setiap makna akal diatas, tidak disebutkan bahwa akal itu adalah materi (zat/ jauhar) yang berdiri sendiri (seperti halnya yang dianut para fhilosof yunani dan siapa saja yang mengusung pemikiran mereka). Akan tetapi akal adalah sifat dan materi yang terkait dengan pemiliknya.[6]
12.  Menurut Imam Syafi’i
Imam Syafi’i menegaskan :
إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدَّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ
Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan mata juga memiliki batas”.[7]
Termasuk pokok-pokok Ahli sunnah wal Jama’ah adalah bahwa akal bukanlah pedoman untuk menetapkan hukum dan aqidah, namun patokannya adalah dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, adapun akal hanyalah alat untuk memahami.
Maka amatlah salah jika menjadikan akal sebagai hakim terhadap dalil Al-Qur’an dan hadits sebagaimana dilakukan oleh sebagian kalangan, sehingga benar Imam as-Sam’ani tatkala mengatakan: “Mereka menjadikan akal-akal mereka sebagai para penyeru kepada Alloh dan menjadikannya seperti Rosul di tengah-tengah mereka. Seandainya ada orang mengatakan: “Tiada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi kecuali Alloh dan akal adalah Rosulku”, niscaya hal itu bukanlah sesuatu yang salah bagi ahli kalam secara makna”.[8]
Imam Nawawi berkata: “Madzhab kami dan madzhab seluruh Ahli Sunnah adalah bahwa hukum itu tidak ditetapkan kecuali dengan syari’at dan bahwa akal tidaklah menetapkan sesuatupun”.[9]
Masalah ini merupakan salah satu pembeda antara Ahli Sunnah wal Jama’ah dengan kelompok-kelompok sesat lainnya. Abul Mudhoffar as-Sam’ani berkata: “Perbedaan mendasar antara kita (ahli sunnah) dengan ahli bid’ah adalah dalam masalah akal, mereka membangun agama mereka di atas akal dan menjadikan dalil mengikuti kepada akal. Adapun ahlu Sunnah berkata: Asal dalam agama adalah ittiba’ (mengikuti dalil), akal hanyalah mengikut. Seandainya asas agama ini adalah akal, tentunya makhluk tidak memerlukan wahyu dan Nabi, tidak ada artinya perintah dan larangan dan dia akan berbicara sesukanya. Seandainya dibangun di atas akal maka konsekwensinya adalah boleh bagi kaum mukminin untuk tidak menerima sesuatu sehingga menimbang dengan akal mereka terlebih dahulu”.[10]


[3]     Al Ghazali, Muhtashar Ihya’ Ulumiddin, terj. Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin
       Ringkasan yang ditulis sendiri oleh sang hujjatul Islam, (Bandung:  Mizan,  2003),    hlm. 39.
[4]      M. Solihin, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2001),
       hlm. 43.
[5]      Ibid Hal. 45
[6]     Ryan Arif Rahman, Lc, Wahyu dan Akal Dalam Tinjuan Syar’i, AdminApril 7th, 2011, 5:13 pmNo  
[7]     Adab Syafi’i hlm. 271 oleh Ibnu Abi Hatim, Tawali Ta’sis hlm. 134 oleh Ibnu Hajar.
[8]     Al-Intishor Li Ashabil Hadits hlm. 77-78.
[9]     Al-Majmu’ 1/263.
[10]   Al-Intishor Li Ashabil Hadits hlm. 81-82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAPORAN HASIL RISET TENTANG MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK MELALUI PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING DI MIS KURIPAN KIDUL

A.     PENDAHULUAN Sejak  bayi  anak  berkembang  secara  fisik,  mental,  sosial,  dan  emosional.  Kemampuan  anak berjalan,  berbicara...