Minggu, 26 Maret 2017

MAKALAH. MEWUJUDKAN REVOLUSI MENTAL MELALUI REKONSTRUKSI ILMU PENGETAHUAN DI PERGURUAN TINGGI KEAGAMAN ISLAM

A.    PENDAHULUAN
Salah satu program yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam masa pemerintahannya adalah Revolusi (Transformasi) Mental, yang tertuang dalam butir ke-8 dalam Nawa Cita. Bila dikutip,  isinya adalah : "Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia."[1]
Revolusi mental adalah gerakan yang bertujuan untuk membentuk karakter masyarakat Indonesia agar menjadi Bangsa yang mandiri dan berdikari. Gerakan revolusi mental juga bertujuan untuk merubah pola pikir (mindset) negatif menjadi positif dan membentuk manusia Indonesia yang berkarakter.[2]
Pendidikan Tinggi Islam mempunyai tugas pokok untuk menyelenggarakan pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di bidang ilmu pengetahuan agama Islam sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pendidikan tinggi Islam berupaya menjadi centre of excellence yakni pusat kajian dan pengembangan ilmu agama Islam yang diarahkan kepada terciptanya tujuan pendidikan, berupaya menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional, yang mampu mengembangkan, menyebarluaskan dan menerapkan ilmu pengetahuan agama Islam, serta untuk meningkatkan kecerdasan umat dan taraf kesejahteraan kehidupan masyarakat.[3]
Dengan demikian Pendidikan Tinggi Islam hendaknya mengikuti program yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo itu karena tugas pokoknya yang begitu berat sebagaimana diatas. Sebagai pusat untuk mempersiapkan sumber  daya manusia yang berkwalitas sebagai calon anggota masyarakat, maka perguruan tinggi Islam harus selalu menyesuaikan keadaan dan keinginan masyarakat serta selalu berpijak pada kebijakan pemerintah dan regulasi yang ada.
Yang menjadi masalah adalah apakah Pendidikan Tinggi Agama Islam sekarang ini telah melakukan revolusi mental sebagaimana yang diinginkan oleh Presiden, bagaimana wujud rekonstruksi Ilmu Pengetahuan di Perguruan Tinggi Keagamaan Indonesia.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Revolusi Mental
Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Itulah adalah gagasan revolusi mental yang pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956. Soekarno melihat revolusi nasional Indonesia saat itu sedang mandek, padahal tujuan revolusi untuk meraih kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya belum tercapai.[4]
Revolusi di jaman kemerdekaan adalah sebuah perjuangan fisik, perang melawan penjajah dan sekutunya, untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kini, 71 tahun setelah bangsa kita merdeka, sesungguhnya perjuangan itu belum, dan tak akan pernah berakhir. Kita semua masih harus melakukan revolusi, namun dalam arti yang berbeda. Bukan lagi mengangkat senjata, tapi membangun jiwa bangsa.
Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.Membangun jiwa bangsa yang merdeka itu penting, Membangun jalan, irigasi, pelabuhan, bandara, atau pembangkit energi juga penting. Namun seperti kata Bung Karno, membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa. Modal utama membangun suatu negara, adalah membangun jiwa bangsa. Inilah ide dasar yang kembangkan kembali gerakan revolusi mental oleh Presiden Joko Widodo. Jiwa bangsa yang terpenting adalah jiwa merdeka, jiwa kebebasan untuk meraih kemajuan. Jiwa merdeka disebut Presiden Jokowi sebagai positivisme.
Revolusi Mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat (pemerintah dan rakyat) dengan cara yang cepat untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategis yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara untuk mampu menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi. Sasaran gerakan ansional Revolusi Mental adalah Penyelenggara Negara dan Masyarakat. [5]
Revolusi mental diperlukan di Indonesia karena praktik-praktik dalam berbangsa dan bernegara yang dilakukan dengan tidak jujur, tidak memegang etika dan moral tidak bertanggung jawab, tidak dapat diandalkan, tidak bisa dipercaya, Indonesia mengalami krisis identitas karakter kuat sebagai bangsa yang mempunyai semangat gotong royong, saling bekerjasama demi kemajuan bangsa meluntur, Dalam bidang perekonomian Indonesia tertinggal jauh dari negara lain karena kehilangan etos kerja, daya juang, daya saing, semangat mandiri, kreativitas dan semangat inovatif.
Revolusi Mental dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan (masyarakat, sekolah, organisasi dan lembaga/institusi negara). Gerakan ini dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti gerakan hidup bersih, peduli lingkungan, tertib berlalu lintas, komunitas kreatif, gotong royong, reformasi birokrasi, transparansi anggaran, pelayanan publik yang lebih baik dengan penyederhanaan syarat dan waktu yang lebih cepat.

2.      Keadaan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang besar kepada dunia pendidikan, terutama setelah Indonesia merdeka. Hal ini dibuktikan dengan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan sampai ke pelosok negeri. Pendidikan Islam juga tidak terlepas dari perhatian pemerintah tersebut yaitu dengan mendirikan dan memberikan bantuan kepada madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat melaksanakan pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik dengan baik. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik yang besar dan terampil, sesuai dengan semangat mamajukan pendidikan di Indonesia, maka di dirikanlah perguruan-perguruan tinggi.[6]
Pada tanggal 25 Agustus 1982, Menteri Agama menerbitkan Surat Keputusan Nomor 78 tahun 1982, tentang pembukaan Fakultas Pasca Sarjana pada IAIN Syarif Hidayatullah (yang sekarang berubah menjadi UIN) dengan mengangkat Prof. Dr. Harun Nasution sebagai Dekan. Tujuan umum didirikannya pasca sarjana IAIN adalah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam yang merupakan inti dari tenaga penggerak dan praktisi pendidikan Islam, penelitian, dan pengembangan ilmu serta pengabdian kepada masyarakat. Sedangkan tujuan Khusus didirikan program pasca sarjana adalah untuk menguasai bidang ilmu agama Islam termasuk ilmu bantu yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu agama Islam serta mengamalkannya pada masyarakat, dan untuk memiliki sikap yang ilmiah dan amal ilmiah sebagai tenaga ahli yang bertanggung jawab di bidang ilmu agama Islam. Tujuan Institusional Pendidikan Tinggi Agama Islam adalah Pertama membentuk sarjana Muslim yang berakhlak mulia, berilmu cakap serta mempuyai kesadaran bertanggung jawab atas kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kedua Mencetak sarjana-sarjana Muslim atau pejabat-pejabat agama Islam yang ahli untuk kepentingan Departemen Agama maupun instansi lain yang memerlukan keahliannya di dalam bidang agama Islam serta untuk memenuhi keperluan umum.
Situasi pendidikan yang ada di Indonesia sama dengan yang ada di berbagai dunia Islam pada umumnya. Hal tersebut, oleh para cendekiawan Muslim internasional dipandang sebagai suatu hal yang tidak kondusif dalam membangun peradaban Islam, sebab disamping tidak Islaminya epistemologi di perguruan tinggi Islam, juga karena terlalu berlebihan birokratisasi dalam mewarnai suasana kehidupan. Akhirnya, kepemimpinan di perguruan tinggi Islam lebih mencerminkan kepala kantor atau kepala proyek daripada sebagai pemimpin lembaga akademik yang berfungsi mewujudkan ummatan ilman atau masyarakat ilmiah. Mereka kelihatannya lebih terampil dalam mengatur lalu lintas dana. Dan sama sekali tidak mempunyai kecakapan dan keterampilan dalam pengembangan lembaga pendidikan yang mengembangkan sikap akademis, berfikir kritis dan analitis.
Ciri khas yang menandai perguruan tinggi agama Islam terlihat secara jelas pada beban studi yang ditawarkan kepada mahasiswa dan produk yang dihasilkannya. Sebagai wahana pengembangan sumber daya manusia (SDM), perguruan Tinggi agama Islam secara konsisten berupaya menghasilkan lulusan yang memiliki berbagai keahlian dan kompetensi. Diantaranya kompetensi akademik yang berkaitan dengan metodologi keilmuan, kompetensi profesional yang menyangkut dengan kemampuan penerapan ilmu dan teknologi dalam realitas kehidupan, dan kompetensi intelektual yang berkaitan dengan kepekaan terhadap persoalan yang berkembang. Sasaran ini tentu saja sangat sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan sekaligus memenuhi panggilan al-Quran yang memotivasi penajaman intelektual. Dengan demikian, idealnya, SDM yang dihasilkan lembaga pendidikan tinggi Islam memiliki kualitas yang handal dan mampu bersaing ditengah masyarakat. Selain sebagai peningkatan kualitas SDM yang merupakan kunci kemampuan daya saing yang tinggi, perguruan tinggi agama Islam juga dibangun sebagai wahana untuk alih teknologi dan pengembangannya serta sebagai lembaga mitra dalam perencanaan dan pemecahan problematika umat. SDM yang dihasilkan perguruan tinggi agama Islam diharapkan memiliki keunggulan dalam pengembangan keilmuan serta keluhuran moral atau akhlaqul karimah. Sungguhpun pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan lama dan mempunyai sejarah yang panjang, namun dirasakan, pendidikan Islam tersisih dari sistem Pendidikan Nasional.
Keadaan ini membawa usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam di dalam suatu dilema yang sulit. Pertama adanya suatu keinginan yang besar untuk mengadakan modernisasi Pendidikan tinggi Islam yang disebut oleh Malik Fajar sebagai kekuatan yang magmatis didalam pendidikan Islam. Sedangkan yang kedua permintaan perubahan dari arus globalisasi yang tidak dapat terbendung lagi. Disini pendidikan Tinggi Islam diminta dapat memberikan sesuatu usaha yang ekstra cepat dan tepat untuk menanggulanginya karena kalau tidak demikian maka pendidikan Islam akan kembali kepada ortodoksi dan tidak dapat mengikuti perkembangan modernisasi yang didambakan oleh masyarakat.
Dunia masa depan merupakan dunia yang cepat berubah, agar dapat memanfaatkan dinamika perubahan tersebut sehingga tidak ketinggalan dengan perkembangannya diperlukan kemampuan persepsi yang cepat terhadap perubahan, mampu menganalisisnya demi keuntungan memperkaya kepribadian agar tidak hanyut dalam arus perubahan tersebut. Disinilah penting adanya suatu tumpuan sebagai pijakan dan landasan yang kuat bagi Perguruan Tinggi Islam untuk mampu berdialog dengan perkembangan. Oleh karena itu Perguruan Tinggi Islam harus mampu mengejahwantakan fungsi akademik sebagai salah satu unsur penggerak pembangunan nasional dengan berpijak kepada budaya keterbukaan kampus.
Dr. Soerjanto Poespowardjoyo berpendapat mengenai hubungan antara lembaga pendidikan tinggi dengan kehidupan sosial. Pendidikan tinggi Termasuk Pendidikan Tinggi Islam tidak dapat hanya menjadi penonton atau mungkin sebagai pengeritik kejadian-kejadian sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, tetapi harus proaktif untuk menyelesaikan masalah yang muncul ditengah-tengah masyarakat, karena perguruan tinggi merupakan sebagian dari gerakan pembangunan nasional.

3.      Wujud Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan Di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Dalam Mewujudkan Revolusi Mental
Pendidikan Agama memiliki peran penting dalam revolusi mental bangsa baik melalui pendidikan formal dan nonformal di Indonesia. Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu mata pelajaran yang mengajarkan pengetahuan dan keterampilan agama knowing and doing yang diharapkan proses pembelajaran keberagamaan, dalam arti mengarah pada being a religius person dan kepribadian. Harapan di atas seiring dengan revolusi mental yang dicanangkan oleh bapak Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam pilar ketiga Trisakti yaitu membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Masalah besar dalam pendidikan selama ini adalah kuatnya dominasi pusat dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga yang muncul uniform sentralistik kurikulum, model hafalan dan monolog, materi ajar yang banyak, serta kurang menekankan pada pembentukkan karakter bangsa. (Majid & Andayani. 2004).
Mendiskusikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) hari ini sebagai sebuah lembaga pendidikan cukup menarik. Melihat dan menyikapi perkembangan PTAI saat ini tentulah ada semacam kebanggaan atau apresiasi. Awalnya, sebagaimana jamak dipersepsikan oleh orang awam, PTAI adalah perguruan tinggi yang kurang berkualitas. Sering dipercakapkan bahwa PTAI adalah Perguruan Tinggi kelas dua. Sudah barang tentu, mahasiswanya pun adalah orang-orang yang berasal dari kalangan dan segmen tertentu. Tetapi, saat ini, persepsi seperti itu, sudah harus diralat karena sudah tidak sesuai dengan faktanya. Sekarang PTAI telah berkembang sedemikian rupa yang, dalam ukuran tertentu, melampaui harapan. Cukup banyak dari PTAI sekarang ini yang kualitasnya tidak kalah dengan perguruan tinggi lainnya di tanah air.[7]
Gerakan Nasional Revolusi Mental harus dimulai dari diri sendiri dan diawali dari hal-hal yang kecil dan ringan. Selanjutnya, gerakan ini berkembang ke sesuatu yang besar dan menjadi gerakan sosial yang luas oleh segenap rakyat. Di pendidikan tinggi, salah satu bentuk nilai revolusi mental adalah penyaluran beasiswa oleh pemerintah kepada mahasiswa kurang mampu yang berprestasi. Sehingga akses kepada pendidikan tinggi semakin merata dan mengurangi ketimpangan. Pemerintah ingin wujudkan bangsa dan negara yang berdaulat dalam bidang politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiganya sejalan dengan yang digelorakan oleh Bung Karno sebagai Trisakti, yang mencakup tiga ranah, yakni mental-kultural, material ekonomi, dan politik. Ketiga ranah tersebut kini perlu dilakukan perubahan yang dipercepat atau revolusi untuk mencapai tujuan Revolusi Pancasila, yaitu mewujudkan perikehidupan kebangsaan dan kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, berlandaskan Pancasila. Perguruan Tinggi dapat menjalankan Revolusi Mental, di antaranya dengan mewujudkan kampus yang bebas dari korupsi, bebas dari narkoba, bebas dari radikalisme, dan bebas dari plagiarisme. Kampus yang memiliki karakter Pancasila akan menanamkan karakter itu kepada para mahasiswa. Bila hal itu terwujud, perguruan tinggi akan melahirkan generasi penerus yang memiliki karakter yang dibutuhkan untuk membangun dan menyejahterakan bangsa. Pemerintah mengharapkan peran perguruan tinggi sebagai agen revolusi mental, agen perubahan pikiran, sikap, dan perilaku yang berorientasi kepada kemajuan. sehingga mewujudkan Indonesia yang lebih baik, menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.[8]
Dari harapan yang diinginkan oleh pemerintah itu, maka perguruan tinggi keagamaan Islam berupaya melakukan rekonstruksi ilmu pengetahuan dalam mewujudkan revolusi mental yang secara sistematis untuk mewujudkan kampus yang bebas dari korupsi, bebas dari narkoba, bebas dari radikalisme, dan bebas dari plagiarisme. Wujud bebas korupsi di mulai penyelenggara pendidikan, dalam hal ini kinerja rektorat beserta strukturalnya untuk melakukan pekerjaannya dengan kejujuran, etos kerja sesuai  dengan tugas pokoknya. Perencanaan, pelaksanaan pekerjaan dan laporan pertanggung jawaban secara transparan. Selanjutnya mengarah pada pelaku pendidikan baik dosen maupun mahasisiwa yang ada, dimana keduanya melakukan kegiatannya sesuai dengan prosedur  yang jelas, terencana dan transparan juga, sehingga dalam proses belajar mengajar terjadi apa adanya sesuai dengan prosedur yang di pedomani . Selain itu Dosen dalam menyampaikan semua ilmu pengetahuan berending pada pembentukan watak dan karakter mahasiswa yang benar-benar anti korupsi, apalagi yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan Agama, jelas-jelas sangat cocok bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak dihalalkan sehingga harus di jauhi dimanapun dan kapanpun juga .
Silabus pendidikan agama Islam dikembangkan lagi dengan mengetengahkan kajian-kajian Islam rahmatan lil alamin sehingga diharapkan menjauhi radikalisme yang akhir-akhir ini terkonsentrasi pada pemuda-pemuda Islam, kajian tetang jihat harus dipisahkan dengan kekerasan. Makna jihat untuk didudukkan sebagaimana apa yang telah ada di Al quran dan Hadits, sehingga diharapkan tidak menjadikan radikalisme tumbuh di wilayah perguruan tinggi kegaman Islam . Kebebasan berserikat  dan berkumpul pada kegiatan kegiatan mahasiswa diupayakan dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan baik keagamaan, kenegarawan dan humanisme, sehingga akan melahirkan aktifis-aktifis muda yang kritis bersendikan agama yang kuat dan rasa kenegarawanan yang besar .
Berkaitan dengan wujud revolusi mental, bagi perguruan tinggi keagamaan Islam bukan pekerjaan yang sulit, hal ini karena dalam serangkaian mata kuliah yang ditawarkan selalu dibalut dengan filososi agamis, dimana dalam Islam teori tentang terbentuk karakter banga yang berintegritas, beretos kerja tinggi, dan bergotong-royong yang dipandang sebagai rielnya gerakan revolusi mental itu telah ada sejak Islam lahir. Semua itu terpancar dari Tauhid, Aklak, maupun teologis Islam secara luas. Jadi wujud revolusi mental yang diharapkan pada pendidikan tinggi kegamaan Islam itu sebenarnya bukan materi yang perlu direkuntrusi, tetapi lebih pada metodologi, pendekatan maupun penguatan dari seluruh mata kuliah dan kegiatan kemahasiswaaan yang telah ada .
Ada tiga hal mendasar yang dinilai bisa menjadi pedoman bagi para mahasiswa di dalam proses pembelajarannya. Pertama, tantangan faham keagamaan, baik yang bercorak liberal maupun yang radikal. Keduanya tidak baik untuk dijadikan sebagai praksis kehidupan. Liberalism adalah ibu kandung globalisasi dan modernisasi yang di dalam banyak hal harus disikapi dengan kritis. Liberalism yang merusak terhadap sendi-sendi agama, misalnya dengan mempertanyakan relevansi agama, tafsir agama, ritual-ritual agama dan sebagainya tentu bisa menjadikan kegoyahan di dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Jika liberalisme sudah mempertanyakan keabsahan Kitab Suci, seperti Al Quran, mengobrak abrik terhadap tafsir agama yang sudah dibakukan oleh ulama salaf yang saleh, dan merusak aturan aturan keagamaan, maka tidak produktif di dalam membangun kehidupan beragama yang telah tertata dengan baik. Liberalism yang membangun premis kebebasan yang tidak terbatas, akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan beragama yang sesungguhnya menjadi pedoman di dalam perilaku dan tindakan. Demikian pula radikalisme dan ekstremisme. Kita sungguh menolak terhadap radikalisme dan ekstremisme agama. Keduanya jauh lebih berbahaya sebab penekanannya justru pada tindakan anti Negara yang mapan. Mereka ingin mengganti Negara sesuai dengan alam pikirannya dan keyakinannya. Mereka menganggap bahwa Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah berhala-berhala modern yang dipuja oleh masyarakat . Mereka menganggap bahwa, hanya sistem Negara sesuai dengan keyakinannya saja yang benar. Demokrasi, kemodernan, Islam Nusantara, dan sebagainya adalah kesesatan pikiran yang harus diluruskan dengan peperangan. Mereka menganggap bahwa tafsir agamanya saja yang benar dan mengkafirkan semua yang tidak sepaham dengannya. Oleh karena itu, para mahasiswa harus melakukan tindakan kritis dan jangan jadikan radikalisme atau ekstremisme sebagai pedoman di dalam kehidupan. Kalangan mahasiswa boleh menjadikan liberalism dan ekstremisme sebagai bahan diskusi, akan tetapi harus melalui panduan para dosen yang selalu mengedepankan Islam wasathiyah atau Islam rahmatanlilalamin. Itulah sebabnya para mahasiswa harus selalu berpikir kritis di dalam menghadapi semua tantangan ini, akan tetapi hendaklah tetap menjadikan Islam Nusantara yang berkemajuan sebagai jalan kehidupan.[9]
Saat menyampaikan orasi ilmiah pada Stadium General (SG) di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, meski ada hasil survey dan penelitian dari pelbagai lembaga yang menunjukkan terkait kondisi pendidikan Indonesia tidak berada di ranking menengah ke atas, tetapi kita harus bangga terhadap kondisi pendidikan Islam di Indonesia. Khusus terkait dengan perkembangan pendidikan tinggi Islam, hingga tahun 2016 ini, Kementerian Agama memiliki Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri dan swasta sebanyak 676 lembaga,dengan rincian 56 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan 620 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS). Gambaran angka tersebut sangat fantastis dibandingkan dengan negara manapun. Kondisi seperti ini adalah potensi sekaligus tantangan bagi umat Islam dan juga bagi Kementerian Agama. Meski sebaran kualitasnya belum merata, tetapi secara umum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Dari waktu ke waktu, kondisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), paling tidak secara fisik, menunjukkan perkembangan yang lebih baik dan disambut dengan animo masyarakat dan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan tinggi pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam terus mengalami peningkatan. Cotohnya, saat penerimaan mahasiswa baru melalui Seleksi Prestasi Akademik Nasional (SPAN) dan melalui Ujian Masuk Tertulis (UM) Tahun 2016. Jumlah calon mahasiswa yang mendaftar sebanyak 209.195 orang dan yang diterima hanya 104.910 orang. Namun, ada catatan menarik terkait dengan peminatan calon mahasiswa terhadap pemilihan program studi (prodi). Ternyata dari 1.027 prodi yang ditawarkan, hampir di semua PTKIN, prodi Perbankan Syariah, Ekonomi Syariah, dan Hukum, Ekonomi Syariah menjadi program idola sementara prodi-prodi seperti filsafat agama, Ilmu Hadits, dan perbandingan Agama langka peminatnya. Melihat trend di atas, sudah seharusnya menjadi kajian serius bagi kita semua khususnya PTKIS. Bagi setiap PTKIS yang akan membuka prodi baru harus betul-betul melalui kajian yang mendalam dan atas pelbagai pertimbangan, walau terkadang memang dihadapkan pada pilihan sulit. Reaktif mengikuti trend agar dibanjiri mahasiswa atau istiqomah dengan kekhasan kita yang dianggap langka. Dua-duanya tidak masalah sepanjang didasari argumentasi yang kuat. Memang ada kampus yang hanya mempertibangkan minat pasar tanpa mempedulikan hal-hal spesifik, detail, dan betul-betul memiliki kebermanfaatan fungsional di masa depan. Tetapi ada juga beberapa kampus yang tidak peduli dengan prodi yang sepi, beda sendiri, dan kurang diminati karena para pengampu prodi ini memiliki keyakinan yang kuat bahwa prodi tersebut memang khas dan proaktik terhadap kebutuhan-kebutuhan di masa depan.[10]
Dari keterangan yang disampaikan oleh Menteri Agama dan sekjen kemenag itu jelaslah bahwa kenyataan masyarakat telah memilih pendidikan tinggi keagaman Islam menjadi pilihan yang cukup signifikan, atas dasar itu upaya dalam melakukan rekonstruksi pembelajaran, materi maupun prodi yang ada delakukan secara bertahap sesuai dengan dinamika yang ada, berkaitan dengan tuntutan revolusi mental, maka sebenarnya perguruan tinggi keagamaan Islam telah melakukan serangkaian kebijakan yang mengarah  pada gerakan revolusi mental itu . 

C.     PENUTUP
Revolusi Mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat (pemerintah dan rakyat) dengan cara yang cepat untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategis yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara untuk mampu menciptakan ketertiban dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi. Sasaran gerakan ansional Revolusi Mental adalah Penyelenggara Negara dan Masyarakat.
Revolusi mental diperlukan di Indonesia karena praktik-praktik dalam berbangsa dan bernegara yang dilakukan dengan tidak jujur, tidak memegang etika dan moral tidak bertanggung jawab, tidak dapat diandalkan, tidak bisa dipercaya, Indonesia mengalami krisis identitas karakter kuat sebagai bangsa yang mempunyai semangat gotong royong, saling bekerjasama demi kemajuan bangsa meluntur, Dalam bidang perekonomian Indonesia tertinggal jauh dari negara lain karena kehilangan etos kerja, daya juang, daya saing, semangat mandiri, kreativitas dan semangat inovatif.
Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang besar kepada dunia pendidikan, terutama setelah Indonesia merdeka. Hal ini dibuktikan dengan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan sampai ke pelosok negeri. Pendidikan Islam juga tidak terlepas dari perhatian pemerintah tersebut yaitu dengan mendirikan dan memberikan bantuan kepada madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat melaksanakan pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik dengan baik. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik yang besar dan terampil, sesuai dengan semangat mamajukan pendidikan di Indonesia, maka di dirikanlah perguruan-perguruan tinggi.
Perguruan tinggi keagamaan Islam berupaya melakukan rekonstruksi ilmu pengetahuan dalam mewujudkan revolusi mental yang secara sistematis untuk mewujudkan kampus yang bebas dari korupsi, bebas dari narkoba, bebas dari radikalisme.
Para mahasiswa harus melakukan tindakan kritis dan jangan jadikan radikalisme atau ekstremisme sebagai pedoman di dalam kehidupan. Kalangan mahasiswa boleh menjadikan liberalism dan ekstremisme sebagai bahan diskusi, akan tetapi harus melalui panduan para dosen yang selalu mengedepankan Islam wasathiyah atau Islam rahmatanlilalamin. Itulah sebabnya para mahasiswa harus selalu berpikir kritis di dalam menghadapi semua tantangan ini, akan tetapi hendaklah tetap menjadikan Islam Nusantara yang berkemajuan sebagai jalan kehidupan

  
DAFTAR PUSTAKA


Judika Malau - Motivator, Trainer, & Konsultan Revolusi Mental: Bagaimana Mewujudkannya? http://www.putra-putri-indonesia.com/revolusi-mental.html
Menag Lukman Hakim Saifuddin, Menag, PTKI Tunjukkan Perkembangan Yang Lebih Baik, sambutan pada acara Stadium General STAI Al-Anwar, Rembang. https://www.kemenag.go.id/berita/409340/menag-ptki-tunjukkan-perkembangan-yang-lebih-baik
Nur Syam, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Guru Besar UIN Surabaya, Kuliah Pembuka STAIN Babel, Sekjen Sampaikan Tantangan Mahasiswa PTKIN, https://www.kemenag.go.id/berita/409805/kuliah-pembuka-stain-babel-sekjen-sampaikan-tantangan-mahasiswa-ptkin



[6]      Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam.

[9]      Nur Syam, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Guru Besar UIN Surabaya, Kuliah Pembuka STAIN Babel, Sekjen Sampaikan Tantangan Mahasiswa PTKIN,         https://www.kemenag.go.id/berita/409805/kuliah-pembuka-stain-babel-sekjen-sampaikan-tantangan-mahasiswa-ptkin

[10]      Menag Lukman Hakim Saifuddin, Menag, PTKI Tunjukkan Perkembangan Yang Lebih Baik, sambutan pada acara Stadium General STAI Al-Anwar, Rembang.         https://www.kemenag.go.id/berita/409340/menag-ptki-tunjukkan-perkembangan-yang-lebih-baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAPORAN HASIL RISET TENTANG MENGEMBANGKAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK MELALUI PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING DI MIS KURIPAN KIDUL

A.     PENDAHULUAN Sejak  bayi  anak  berkembang  secara  fisik,  mental,  sosial,  dan  emosional.  Kemampuan  anak berjalan,  berbicara...